SHALOKAL. INDONESIA, JAKARTA-Pada bulan Agustus 2021, Taliban menguasai kembali Afganistan setelah Amerika menarik pasukannya dari negara itu. Hal itu membuat banyak warga Afganistan, terutama yang tinggal di luar negeri, enggan pulang kembali ke negara mereka. Keengganan itu juga dirasakan oleh dua pelukis asal Afganistan, yang kini memilih tinggal di Yogyakarta, kota wisata dan seni yang membuat hati mereka nyaman.
“Saya sudah berpikir pulang, tapi pas satu tahun pertama di Indonesia ada kesempatan 4 tahun lagi kuliah dan abis kuliah dapat bojo (istri) jadi nikah. Dan waktu melihat suasana di Afghanistan, di sana tidak begitu bisa praktik seni, otomatis membuat hidup susah. Jadi lebih baik di sini dan juga istri tidak membolehkan saya pulang… ha ha…,” ujar Amin Taasha.
Berawal dari Darmasiswa
Itulah Amin Taasha, seorang pelukis yang terpilih untuk mengikuti pertukaran mahasiswa dalam program Darmasiswa di Universitas Negeri Semarang tahun 2013 untuk belajar bahasa dan budaya Indonesia. Setelah itu ia memperoleh bea siswa untuk studi S1 di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, hingga lulus tahun 2018.
Amin yang lahir di Bamiyan, Afghanistan tahun 1995 itu, menganut aliran seni lukis abstrak surrealisme. Ia banyak diilhami oleh puisi, budaya dan keluarganya. Semula, ia mempelajari cara membuat karpet setelah pindah ke Kabul bersama keluarganya semasa ia kecil. Bertolak dari seni dalam membuat karpet itulah, Amin mulai melukis dengan cat air, tinta dan akrilik.
Lain dengan Amin, seorang pelukis kelahiran Ghazni, Afganistan, tahun 1990, Mumtaz Khan Chopan, datang ke Indionesia sebagai pencari suaka yang diproses dan dibiayai oleh Badan Pengungsi Dunia PBB atau UNHCR
Ditanya mengenai profesi seni yang selama ini ditekuninya, Mumtaz mengatakan, “Saya seniman yang belajar di fakultas seni di Afganistan. Dasar saya melukis, saya pelukis dan juga berkarya dalan bidang instalasi dan bekerja sama dengan para pengungsi untuk praktik seni.”
Berfokus pada subyek
Mumtaz yang tergolong pelukis kontemporer itu, telah melakukan pameran sejak tahun 2012, baik di negaranya sendiri dan kemudian di Jerman, Amerika dan Denmark tahun 2013. Sedangkan sejak tinggal di Indonesia, Mumtaz yang karya seninya banyak menggambarkan tentang pengungsi dan ketidakjelasan politik itu, telah mengadaan pameran sekitar delapan kali di Yogyakarta, Solo, Surabaya dan Jakarta.
Aliran seni lukis ekspresionisme, membuat Mumtaz tidak hanya membuat lukisan, namun berfokus pada subyeknya, seperti membuat tanur atau pemanggang roti Naan, makanan sehari-hari rakyat Afganistan.
“Karena kalau orang tahu tradisi orang lain itu bisa lebih kuat, orang bisa paham lebih banyak. Oo ini seperti saya, dia makan seperti ini. Karya-karya seperti itu”, tambahnya.
Kedua seniman itu, Amin dan Mumtaz kini merasa lebih nyaman tinggal di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Bagi Mumtaz, ia merasa aman, bisa berkarya dan berdiskusi mengenai seni di Indonesia, yang ia rasakan seperti negaranya sendiri.
“Suka sekali di sini dan Yogya juga ya.., di sini banyak seniman dan kita bisa diskusi dan ikut pameran. Kita bisa bicara apa saja, itu lebih aman daripada Afghanistan dan ya itu seperti rumah bagi saya”, ujarnya kepada VOA.
Bagi Amin Taasha, yang paling ia sukai hidup di Indonesia, orang Indonesia suka tersenyum, katanya.
“Tidak ada sesuatu yang berat, kalau pun ada, mereka selalu tersenyum, dan itu otomatis membuat saya bahagia. Kalau di Afganistan tidak diperbolahkan misalnya di jalan kita tersenyum, orang mengajak berantem karena mengapa tersenyum. Juga kotanya kota seni dan banyak orang datang dari berbagai pulau (di Indonesia). Itu yang bikin saya betah tinggal di Yogya”, tuturnya.
Pameran
Sebanyak 36 karya lukis Amin Taasha yang berjudul, “No One Sees What You See” kini sedang dipamerkan di Redbase Yogyakarta, berlangsung tanggal 12 Januari hingga akhir Februari.
Seorang pengamat seni, Mohjohar Alhakim yang mengamati karya lukis Amin mengatakan, “Mengamati karya Amin dalam pameran “Unsolved Silent” itu mengingatkan kita, siapa yang paling menderita akibat perang? Semua orang, terlebih anak-anak, kaum perempuan dan kaum rentan usia senja. Amin secara genial membangun ingatan masa kecilnya dan mengabarkan kepada dunia bahwa kedamaian tidak mensyaratkan adanya perang,” komentarnya kepada VOA.
Amin Taasha sering mengenang masa kecilnya di Afganistan. Namun pergolakan politik membuatnya tak lagi ingin kembali ke kampung halamannya, terlebih setelah ia menikah dengan gadis asal Parakan Jawa Tengah dan kini mempunyai putri berusia dua setengah tahun.
Kedua seniman itu berpendapat, seni bisa menjadi hidupnya bermasalah di Afganistan. Khawatir dengan masalah yang akan dihadapinya jika kembali ke Afghanistan, Amin memilih tinggal di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, membesarkan putrinya sambil mempersiapkan proyek seni barunya untuk pameran tunggal di Sydney, Australia. (Si/voa)
Editor: Erma Sari, S, pd
Karya instalasi Amin Taasha beserta 36 lukisannya (foto: courtesy).