SHALOKAL. INDONESIA, JAKARTA- Dalam ingatan Anis Faisal Reza kejadian empat tahun yang lalu. Warga Desa Panggarangan, Lebak, Banten, mengolok-oloknya ketika ia mendirikan tenda posko kesiapsiagaan fenomena La Nina. Anis, yang akrab disapa Abah Lala, adalah pendiri Gugus Mitigasi Lebak Selatan (GMLS), komunitas siaga bencana di desa tersebut.
“Ada aja yang iseng, ‘Pak, memang tsunaminya jadi?’ Kenyinyiran-kenyinyiran itu banyak sekali,” ujarnya.
Sementara di Padang, Sumatra Barat, Patra Rina Dewi tergerak untuk menjadi seorang relawan pascatsunami Aceh. Patra, yang biasa dipanggil Uni, terkekeh saat menceritakan kembali pengalamannya pada tahun 2005. Saat itu, ia dihardik warga yang marah karena mengampanyekan bahaya tsunami dari pintu ke pintu.
“Kita tuh sampai dikejar sama parang, sama masyarakat, hehehe… [Mereka bilang] ‘Apa kalian? Memang bidang ilmu kalian apa? Sok-sok jadi Tuhan…” tuturnya, meniru ucapan warga.
Kini ia tertawa mengingatnya. Ia paham mengapa warga enggan diedukasi saat itu. Selain masih trauma dengan pemberitaan tsunami Aceh yang memilukan, mereka juga tidak percaya pada Patra dan rekan-rekannya yang sekonyong-konyong datang dan bicara tentang gempa dan tsunami sementara tak memiliki latar belakang pendidikan mengenai hal itu. Itu sebabnya ia kemudian mendirikan Komunitas Siaga Tsunami (KOGAMI) pada pertengahan 2005.
Berkompromi dengan Rasa Takut
Sembilan tahun lalu, Anis yang seorang aparatur sipil negara dipindahtugaskan dari Pandeglang ke kawasan pesisir Lebak selatan. Ia membawa serta keluarganya untuk tinggal di Desa Panggarangan, Kabupaten Lebak, Banten. Seperti yang sudah-sudah, ia mempelajari daerah tempat tinggal barunya tersebut.
“Pusat logistik, pusat pemerintahan Lebak selatan, puskesmas, pasar, semuanya ada di pesisir,” ungkapnya saat berbicara kepada VOA
Suatu hari, dari artikel di sebuah majalah terkemuka, sang istri memberitahunya tentang potensi gempa besar di selatan pulau Jawa. Kabar itu bukan saja membuatnya terkejut, tapi juga membuat sang istri cemas bukan main.
“Sejak baca artikel itu kehidupan berubah,” ungkap Anis. “Kami tinggal dengan kekhawatiran bahwa sewaktu-waktu bisa terjadi gempa besar yang berpotensi tsunami.”
Alhasil, bayang-bayang gulungan ombak menerjang ia dan keluarganya terus melekat di dalam benak. Apalagi sekolah kedua anaknya berada persis di pinggir pantai.
Setahun kemudian, ia akhirnya memutuskan untuk “bernegosiasi dengan ketakutan”nya dan melakukan sesuatu.
Ia dan seorang kawan lantas membuat rencana untuk membangun jejaring radio komunikasi yang bisa membantu masyarakat desa tetap terhubung dalam kondisi darurat ketika bencana terjadi. Jaringan itu berdiri tahun 2018 dengan membangkitkan lagi komunitas radio setempat yang sudah lama tidak aktif.
Anis tidak berhenti di situ. Setelah dipertemukan dalam berbagai kesempatan dengan beberapa pihak, dari lembaga pemerintahan seperti BNPB dan BMKG, hingga LSM UInspire Indonesia dan akademisi ITB, Anis akhirnya mendirikan komunitas Gugus Mitigasi Lebak Selatan (GMLS) pada tahun 2020.
“Saya rekrut teman-teman yang satu pemikiran,” ujarnya.
Meski demikian, nyatanya tidak mudah mencari relawan yang mau membantu komunitasnya mengampanyekan kesiapsiagaan menghadapi gempa dan tsunami di desa. Banyak masyarakat yang mengira ada upah yang bisa diperoleh dari kegiatan tersebut.
“Ternyata mereka belum paham kerelawanan itu adalah kerja kemanusiaan yang tanpa ada imbalan,” kata Anis. “Akhirnya dari puluhan relawan yang mendaftar, tersisa sangat sedikit.”
Sekarang ia hanya berdelapan mengelola komunitas tersebut: dirinya, sang istri, kedua anaknya yang masih duduk dibangku SD dan SMP, dua relawan usia SMA serta dua relawan pegawai kantoran.
“Silakan bayangkan betapa sulitnya, hehehe,” imbuhnya. “Tapi nggak masalah, lanjut terus.”
Sejak berdiri, komunitasnya telah melakukan berbagai kegiatan bersama pihak-pihak lain, dari sosialisasi ancaman dan mitigasi tsunami ke sekolah-sekolah, melakukan survei literasi kebencanaan, hingga simulasi evakuasi tsunami di Desa Panggarangan.
‘Mau Kayak di Aceh Atau Berbuat Sesuatu?’
Patra terjun ke Aceh sebagai sukarelawan pada awal tahun 2005 untuk membantu kondisi pascatsunami di Serambi Mekah. Tetapi kesadarannya untuk mengampanyekan kesiapsiagaan tsunami baru muncul setelah para relawan asing yang mengajaknya ke Aceh dulu mengajukan satu pertanyaan: “Kalian mau membiarkan masyarakat kalian meninggal seperti di Aceh atau berbuat sesuatu?”
Pertanyaan itu muncul setelah artikel sebuah majalah terkemuka saat itu menyebut Kota Padang sebagai kota paling rawan tsunami di dunia.
Patra, yang sulit melupakan kemungkinan terjadinya bencana tersebut, bersama rekan-rekannya memilih untuk berbuat sesuatu. Mereka mulai belajar cara membuat peta evakuasi tsunami, bagaimana cara mengevakuasi warga, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana tersebut.
kemanusiaan Mercy Corps International. Mereka melakukan advokasi pembentukan peraturan daerah Kota Padang tentang penanggulangan bencana, advokasi peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan tentang program satuan pendidikan aman bencana, membentuk kelompok siaga bencana percontohan, mengadakan sosialisasi dan simulasi evakuasi tsunami, hingga menjadi pembicara untuk berbagai pertemuan tentang mitigasi tsunami di luar Indonesia.
Pada 26 Desember 2022 lalu, bertepatan dengan peringatan 18 tahun tsunami Aceh, Kelurahan Lolong Belanti dan Kelurahan Purus di Kota Padang, yang didampingi KOGAMI dan mitra lainnya, menerima pengakuan Komisi Oseanografi Antarpemerintah UNESCO (IOC-UNESCO) sebagai Komunitas Siap Tsunami (Tsunami Ready Community).
Komunitas Siap Tsunami
Pengakuan yang sama juga telah diberikan kepada tujuh komunitas lainnya di Indonesia, termasuk masyarakat Desa Panggarangan di Lebak, Banten, yang dipelopori GMLS.
Pengakuan IOC-UNESCO itu diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang telah memenuhi dua belas indikator komunitas siaga tsunami yang sudah ditetapkan. Dalam aspek penilaian, suatu komunitas harus sudah memiliki peta bahaya, memperkirakan jumlah orang yang ada di daerah rawan, serta mendaftar sumber daya ekonomi, infrastruktur, politik dan sosial yang ada di wilayah masing-masing.
Dalam aspek kesiapsiagaan, masyarakat harus memiliki peta evakuasi tsunami yang mudah dipahami, memasang rambu-rambu dan papan informasi yang bisa dilihat siapa saja, menyebarluaskan materi kesiapsiagaan tsunami, menggelar sosialisasi setidaknya tiga kali setahun, serta mengadakan simulasi evakuasi tsunami minimal dua tahun sekali.
Sementara dalam aspek respons, rencana tanggap darurat tsunami suatu komunitas harus sudah disepakati bersama, komunitas mampu mengelola operasi tanggap darurat, serta adanya sarana dan prasarana untuk bisa menerima sekaligus menyebarluaskan peringatan dini tsunami kepada masyarakat setiap saat.
“Jadi, kami membangun rasa tanggung jawab untuk melakukan upaya pengurangan risiko tsunami dan kesiapsiagaan tsunami di masyarakat,” ungkap Ardito M. Kodijat, Kepala Pusat Informasi Tsunami Samudera Hindia (IOTIC) IOC-UNESCO, kepada VOA. “Tanggung jawab untuk mempertahankan keberlanjutan tingkat kesiapsiagaan itu harus dijaga oleh masyarakat.”
Ardito menjelaskan, program lembaganya itu bersifat sukarela. Komunitas yang sudah membangun kapasitas kesiapsiagaan dan memenuhi seluruh indikator Tsunami Ready Community dapat mengajukan diri kepada National Tsunami Ready Board (NTRB) untuk dipertimbangkan.
Meski tidak diganjar dengan dukungan finansial, status ‘siap tsunami’ yang disematkan kepada suatu komunitas, menurutnya, akan memberi motivasi bagi komunitas lain untuk mengikuti jejaknya. Hal itu akan memperkuat kesiapsiagaan masyarakat yang lebih luas, karena bagaimanapun juga, “kesiapsiagaan satu desa akan terpengaruh oleh ketidaksiapsiagaan desa sebelahnya, karena tsunami itu kan tidak hanya menarget satu desa saja,” imbuhnya.
Di samping itu, status itu bisa membuat suatu komunitas memiliki daya tawar lebih tinggi saat menjajaki kesempatan menjalin kerja sama dengan pihak lain.
Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengetuai NTRB, dewan nasional siap tsunami. Mereka bertugas mendampingi, meninjau sekaligus memberikan penilaian terhadap komunitas yang mengajukan diri untuk menjadi komunitas siap tsunami.
“Champion”
Selain program yang digagas IOC-UNESCO, BMKG juga menggelar Sekolah Lapang Gempa Bumi (SLG) untuk melatih kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi dan tsunami. Sejak 2015, program itu sudah diselenggarakan di 114 lokasi. Masih ada program-program pemerintah lain – Desa Tangguh Bencana (Destana) dari BNPB atau Taruna Siaga Bencana (Tagana) dari Kementerian Sosial RI – yang diselenggarakan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat menghadapi bencana alam secara umum.
Akan tetapi, BMKG mengaku kesiapsiagaan masyarakat masih harus lebih ditingkatkan.
“Masih sangat jauh,” kata Suci Dewi Anugrah, koordinator penyiapan tsunami ready dari BMKG. “Dari 5744 desa yang rawan tsunami [di Indonesia], sementara kita baru edukasi 114 lokasi.”
Keterbatasan anggaran hingga banyaknya daerah rawan menjadi alasan upaya itu belum optimal, menurut Suci. Itu sebabnya metode training on trainers (TOT), alias pelatihan terhadap pelatih, digalakkan agar edukasi mitigasi itu bisa disebarluaskan.
Suci sendiri menyebut sosok-sosok seperti Anis dan Patra sebagai “champion,” alias pejuang. Menurutnya, pendekatan ke masyarakat akan lebih mengena jika dilakukan oleh anggota komunitas itu sendiri, karena dianggap lebih memahami karakter warga setempat dan bisa melakukan upaya secara lebih intensif.
“Seperti di Lebak itu, dia masuk lewat dongeng-dongeng, petuah-petuah nenek moyang mereka zaman dulu, cerita terkait Caah Laut. Mungkin Caah Laut itu sebetulnya fenomena tsunami,” tuturnya. “Kan kita nggak tahu nih [cerita ini] kalau orang-orang kementerian/lembaga yang ada di pusat […] Tapi kalau orang daerah, mereka tahu apa yang sudah ada, yang jadi pesan moral dari cerita-cerita nenek moyangnya.
Suci mengingatkan, kesiapsiagaan itu amat penting mengingat empat puluh persen pesisir pantai Indonesia berada di wilayah rawan tsunami. Belum lagi, kapan tsunami terjadi tidak dapat diprediksi.
“Meskipun jarang – tsunami itu bencana yang jarang terjadi – tapi di Indonesia ini frekuensinya cukup tinggi dibandingkan dengan yang lain. Dari [tahun] 1600 sampai 2021 kita mengalami 246 tsunami, meskipun tidak semuanya berdampak signifikan,” ujarnya. “Tetapi ketika dia berdampak signifikan, korbannya bisa sangat banyak melebihi bencana lainnya.”
Tsunami Aceh pada 2004, atau disebut juga sebagai tsunami Samudera Hindia, menewaskan lebih dari 200.000 orang di empat belas negara, termasuk Indonesia. Tsunami itu diawali gempa di atas 9 magnitudo
Dua tsunami terakhir yang menerjang Indonesia terjadi pada tahun 2018, yaitu tsunami Palu, yang menewaskan sekitar 2.000 orang, dan tsunami Selat Sunda, yang menewaskan sekitar 400 orang. Tsunami Palu diawali oleh gempa berkekuatan 7,5 magnitudo yang disusul dengan peristiwa likuifaksi, sedangkan tsunami Selat Sunda terjadi akibat longsor bawah laut setelah erupsi Gunung Anak Krakatau.
Menurut Katalog Desa/Kelurahan Rawan Tsunami yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2019, terdapat 1.013 desa yang tergolong rawan tinggi tsunami dan 4.731 desa yang rawan sedang di Indonesia. (Si/via)
Ket foto: Masjid Raya Banda Aceh pasca tsunami 26 Desember 2004 (foto: dok. VOA/Eva M.).