SHALOKALINDONESIA.COM, JAKARTA- Larangan buka puasa bersama bagi pegawai negeri yang dikeluarkan Presiden dengan alasan mencegah penyebaran COVID-19, menuai kritikan dari masyarakat dan tokoh Islam yang mengatakan aturan itu tidak adil, tidak arif, bahkan bersifat politis.
Aturan mengenai larangan aparatur sipil negara (ASN) berbuka puasa bersama itu dikeluarkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo melalui surat edaran Sekretariat Kabinet tertanggal 21 Maret 2023 yang menyebutkan bahwa “penanganan COVID-19 saat ini dalam transisi pandemi menuju endemi, sehingga masih diperlukan kehati-hatian,” dan “sehubungan dengan hal tersebut, pelaksanaan kegiatan Buka Puasa Bersama pada bulan suci Ramadan 1444H agar ditiadakan.”
Peraturan itu mendapat tanggapan negatif sejumlah pihak karena dinilai tidak berdasar mengingat pemerintah sejak akhir tahun lalu telah melonggarkan aturan pembatasan pandemi, termasuk mengizinkan konser musik, pameran, dan bahkan Presiden Jokowi mengadakan pernikahan besar salah seorang putranya dengan mengundang ribuan orang Desember lalu.
Salah seorang pegawai negeri menyatakan kebijakan tersebut tidak adil karena pegawai negeri juga merupakan masyarakat biasa.
“Nggak adil sih, selalu kami rasakan dari soal nggak boleh mudik, nggak boleh cuti, dan bahkan saat pandemi juga tidak ada kebijakan kerja dari rumah (WFH) karena instansi kami dianggap sektor penting,” kata seorang pegawai negeri yang tidak mau disebut namanya.
“Perlu didefinisikan juga yang dimaksud bukber itu apa. Kalau ternyata lembur terus maghrib di kantor kemudian makan bareng kan bisa dibilang buka bersama juga,” keluhnya.
Setkab: Masyarakat umum masih bisa buka puasa bersama
Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang menandatangani surat edaran itu menegaskan bahwa larangan hanya ditujukan bagi para menteri koordinator, menteri, dan pimpinan pejabat lembaga pemerintah.
“Hal ini tidak berlaku bagi masyarakat umum sehingga dengan demikian masyarakat umum masih diberikan kesempatan untuk melakukan atau menyelenggarakan buka puasa bersama,” ujarnya.
Menurut dia, saat ini ASN dan pejabat pemerintah sedang mendapatkan sorotan yang sangat tajam dari masyarakat sehingga pemerintah meminta kepada seluruh jajarannya untuk berbuka puasa dengan pola hidup sederhana.
“Dengan tidak mengundang para pejabat dan ASN di dalam mereka melakukan buka bersama sehingga intinya mengedepankan kesederhanaan,” ujar dia.
Kebijakan berlebihan, aneh dan politis?
Walaupun Pramono Anung mengatakan kebijakan itu tidak berlaku bagi masyarakat umum, larangan ini masih dianggap sebagai kebijakan yang tidak arif dan tidak adil oleh sejumlah pihak, termasuk mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsudin.
“Tidak arif karena terkesan tidak memahami makna dan hikmah buka puasa bersama antara lain untuk meningkatkan silaturahim yang justru positif bagi peningkatan kerja dan kinerja Aparatur Sipil Negara.”
“Tidak adil karena nyata alasannya mengada-ada, yaitu masih adanya bahaya COVID-19,” tambahnya. “Bukankah Presiden sendiri melanggar ucapannya sendiri dengan mengadakan acara pernikahan putranya yang mewah dan mengundang kerumunan?”
Namun, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, mengingatkan bahwa Indonesia belum bisa menganggap pandemi telah usai. Ia menegaskan bahwa meskipun vaksinasi sudah dilakukan, tindakan pencegahan tetap harus dilakukan.
“Kami juga ingin mengingatkan bahwa seiring dengan vaksinasi, pelonggaran dapat terjadi, namun harus tetap dilakukan secara bertahap dan disiplin,” katanya.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan urgensi dari segi kepentingan penanggulangan COVID-19 saat ini sudah sangat berkurang karena modal imunitas dari masyarakat, dari sisi vaksin dan kekebalan sudah jauh lebih baik – yang ditunjukkan dengan tingkat keparahan yang rendah.
“Situasi memang jauh lebih aman dan terkendali saat ini untuk buka puasa bersama tapi mungkin karena adanya sorotan ke pejabat publik terkait gaya hidup pamer sehingga dilarang,” kata dia.
Desember tahun lalu, pemerintah resmi mencabut kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Kementerian Kesehatan juga sudah membolehkan masyarakat untuk tidak menggunakan masker di tempat publik.
Anggota Komisi III DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, meminta Jokowi mencabut larangan pejabat berbuka puasa bersama dan berspekulasi kebijakan itu bermuatan politik.
“Apapun alasan Pak Jokowi, melarang pejabat berbuka puasa bersama kurang sejalan dengan revolusi mental yang digaungkan Beliau,” kata Nasir dalam keterangan tertulisnya.
Politikus PKS itu mengatakan larangan tersebut menunjukkan bahwa Presiden dinilai tidak peka dengan tradisi berbuka puasa yang merupakan kearifan lokal umat Islam di Indonesia.
“Jangan-jangan larangan buka bersama dikhawatirkan oleh rezim akan menjadi konsolidasi umat Islam menjelang Pilpres,” ujarnya merujuk pada pemilihan umum yang akan dilaksanakan pada 24 Februari tahun depan.
Salah seorang pegawai negeri dari Jakarta yang enggan disebutkan namanya tak mempermasalahkan kebijakan tersebut, meski sejatinya ia tetap menilai beleid tersebut terlalu berlebihan dan aneh.
“Selama ini kan juga sudah banyak acara keramaian seperti resepsi pernikahan. Orang-orang juga makan berkelompok di mal,” katanya kepada BenarNews.
“Pengawasan akan sangat sulit, apalagi buka bersama kan digelar sepulang kantor. Setiap orang bisa melakukan kegiatan mereka masing-masing,” pungkasnya.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benni Irwan, mengatakan telah menerbitkan surat edaran mengenai larangan berbuka puasa bagi pejabat dan pegawai pemerintah kepada setiap daerah pada hari ini, tapi ia tak merinci sanksi yang akan diberikan kepada para pelanggar.
“Soal sanksi sesuai aturan yang disampaikan Kemenpan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi),” kata Benni kepada BenarNews.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, mengatakan jika pemerintah bertujuan mencegah gaya hidup bermewah-mewahan di kalangan pejabat, Jokowi semestinya mengarahkan anak buahnya agar tidak menggelar buka bersama di tempat mewah.
“Bisa dialihkan dengan melibatkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah,” kata Trubus.
“Masa endemi sekarang justru saatnya pemerintah membantu UMKM untuk tetap bertahan.”
Pelarangan tersebut juga dinilai Trubus tidak efektif karena membutuhkan pengawasan ketat dan biaya tambahan untuk membentuk tim pengawas. (shalokalindonesia.com/Benar news)
Editor: Erma Sari, S. Pd
Ket foto: Presiden Jokowi. (Foto: Sekretariat Kepresidenan)