SHALOKAL. INDONESIA, JAKARTA — Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait kepada VOA, Rabu (4/1), menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, hukuman mati terhadap pemerkosa anak-anak dimungkinkan.

“Karena undang-undang itu mengatur tentang hukuman mati maksimal, jadi saya kira pertimbangan-pertimbangan hakim yang berujung pada perilaku dan perbuatan dari ustad itu terhadap 13 santrinya, saya kira tidak ada yang berlebihan di situ. Dan itu bukan inisiasi dari hakim, tetapi memang diatur oleh ketentuan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016. Jadi tidak ada yang aneh di situ,” kata Arist.

Meskipun berharap hukuman mati terhadap Herry akan menimbulkan efek jera, Arist mengingatkan bahwa hukuman mati harus menjadi alternatif terakhir tapi bagi pelaku kejahatan seksual harus menerima konsekuensinya.

Menurutnya, belum terlalu banyak terdakwa kasus pemerkosaan anak yang dijatuhi vonis hukuman mati. Hukuman yang biasanya dikenakan adalah vonis 20 tahun penjara hingga seumur hidup.

Sementara terkait hukuman kebiri bagi pemerkosa, Arist setuju dengan syarat pelaku adalah residivis, sudah melakukan kejahatan serupa berulang kali, menjadi ancaman bagi anak-anak. Dia menambahkan perlu ada hukuman sosial atau sanksi adat bagi pelaku kekerasan seksual.

Menurut catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak, sejak Januari hingga akhir Desember 2022, terjadi 2.739 kasus pelanggaran terhadap anak. Dari angka itu, 52 persennya adalah kejahatan seksual yang dilakukan antara lain oleh orang terdekat. Korbannya beragam usia mereka, bahkan ada yang berumur delapan bulan dan satu tahun hingga 14 tahun.

Aktivis Dorong Penguatan Kejiwaan Anak Korban Kejahatan

Sri Nurherawati dari Yayasan Sekretariat untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (Sukma) mengatakan para korban pemerkosaan Herry Wirawan itu harus benar-benar mendapat penguatan kejiwaan. Korban yang sudah memiliki anak dari kejahatan yang dilakukan pelaku juga anak-anaknya harus diprioritaskan untuk memperoleh hak-hak mereka.

“Ini artinya membutuhkan waktu untuk reintegrasi ke masyarakat, termasuk metode pendidikannya. Ini yang kita belum punya karena kita belum membuat semacam penguatan dukungan masyarakat supaya nanti tidak menstigma, membuat bahasa tubuh sekecil apapun yang membuat si anak merasa beda, merasa tidak seperti anak-anak lagi. Tentunya membutuhkan proses reintegrasi dan rehablitasi sosialnya,” ujar Sri.
Karena itu, lanjutnya, sangat penting dibutuhkan kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat untuk menjamin hak-hak santriwati korban pemerkosaan Herry dan anak-anak mereka, termasuk soal pendidikan.

Dia menegaskan masyarakat harus dididik untuk siap menerima anak-anak korban kekerasan seksual karena mereka hanyalah korban sehingga harus mendapatkan kembali hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Menurutnya, pengalaman yang selama ini terjadi, anak-anak korban kekerasan seksual cenderung menyalahkan orang yang dia percaya untuk menyimpan aibnya malah bercerita dan melaporkan kepada polisi. Sehingga mereka merasa bersalah karena telah menimbulkan kekacauan, seperti orang tua mereka menjadi berkonflik karena kasus pemerkosaan itu dan suasana dalam keluarga menjadi tidak tenteram.

Selain itu, yang terjadi dalam beberapa kasus, keluarga yang anak mereka menjadi korban pemerkosaan memilih pindah tempat tinggal untuk menghindari gunjingan tetangga karena pelaku dan keluarga pelaku bertempat tinggal di sekitar mereka.

Sri menekankan proses pemulihan trauma yang dialami anak-anak korban kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, membutuhkan dukungan dan kerjasama keluarga, masyarakat, tokoh agama dan tokoh masyarakat, media, dan kebijakan pemerintah. Dia menambahkan dalam hampir semua kasus anak korban pemerkosaan, faktor yang menyebabkan kondisi kejiwaan mereka cepat pulih dari trauma adalah penerimaan keluarga atas diri mereka.

Menanggapi vonis hukuman mati dari Mahkamah Agung terhadap terdakwa Herry Herawan, pemerkosa 13 santiwatinya, Sri menilai sanksi itu bisa mengurangi beban pemulihan terhadap para korbannya. Sebab trauma yang dialami anak-anak korban pemerkosaan bisa berlangsung seumur hidup mereka.

Alternatif selain hukuman mati, lanjutnya, pelaku yang sadar setelah keluar dari penjara berkampanye bahwa kekerasan seksual itu bukan kesalahan korban sehingga nama baik korban bisa segera pulih di mata masyarakat.

Sembilan Bayi Lahir Akibat Pemerkosaan Herry Wirawan

Akibat pemerkosaan 13 santriwati yang berumur 14-20 tahun itu, korban Herry Wirawan, lahir sembilan bayi dari delapan korban. Ada salah seorang korban yang hingga melahirkan dua anak dari hasil perkosaan yang berlangsung sejak 2016-2021.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) mencatat selama Oktober 2021 sampai September 2022 terdapat 31 vonis hukuman mati yang dikeluarkan oleh hakim, paling banyak untuk terdakwa kasus narkotika. Rinciannya adalah 23 terdakwa kasus narkotika, serta masing-masing empat orang pelaku pembunuhan dan pemerkosaan. (SI/VOA)

Editor: Erma Sari S. pd
Ket foto: Herry Wirawan (tengah) dikawal sebelum diadili di pengadilan di Bandung, Jawa Barat pada 15 Februari 2022, di mana ia kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas pemerkosaan terhadap 13 siswa, semuanya di bawah umur. (Foto: AFP/Timur Matahari

 

Iklan

Share:

Shalokal Indonesia

Shalokal Indonesia adalah media online dibawah PT Shalokal Mediatama Indonesia dengan kantor di Kalimantan Selatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *