
SURABAYA, shalokalindonesia.com– Konflik internal dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) terus menjadi perhatian menjelang digelarnya Pra Musyawarah Luar Biasa (MLB) NU di Surabaya dan Jombang pada 17-21 Desember 2024.
Berbagai isu, mulai dari potensi dualisme kepengurusan hingga kritik atas tata kelola organisasi, mengemuka di tengah dinamika salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ini.
M. Syarbani Haira, seorang tokoh yang aktif mengikuti perkembangan isu ini, mengemukakan gagasan penyelesaian konflik dengan pendekatan yang “di luar kotak penalti.” Ia menguraikan tiga kemungkinan besar yang dapat terjadi jika konflik tidak segera diatasi.
Tiga Skenario Dampak Konflik
Syarbani memaparkan tiga kemungkinan skenario yang mungkin terjadi sebagai akibat dari konflik ini:
1. Terbentuknya Dualisme Kepemimpinan
Kegagalan menemukan titik temu antara pihak-pihak yang berselisih dapat memicu dualisme kepengurusan di tingkat nasional. Kondisi ini, menurut Syarbani, akan merugikan baik jamaah maupun organisasi NU secara keseluruhan.
Ia menekankan perlunya meneladani sikap K.H. Idham Chalid pada 1984 yang memilih untuk mengalah demi menjaga keutuhan NU.
2. Krisis Kepercayaan terhadap Kepemimpinan
Jika elite NU tetap mempertahankan posisinya tanpa evaluasi, hubungan dengan jamaah di akar rumput dapat memburuk. Lemahnya pengelolaan aset-aset penting, seperti universitas dan rumah sakit, disebut sebagai indikator ketidakpercayaan yang semakin mengemuka.
3. Intervensi Pemerintah
Dalam skenario terburuk, pemerintah dapat terpaksa turun tangan demi menjaga stabilitas sosial. Syarbani menegaskan bahwa pemerintah perlu bersikap netral namun tetap waspada jika konflik ini memicu ketegangan yang meluas.
Sebagai jalan keluar, Syarbani menyarankan penguatan peran ulama dan masyayikh sebagai pengawas organisasi. Ia mengusulkan sistem baru di mana ulama diberi peran eksekutif untuk mengatasi konflik internal sekaligus menjaga marwah organisasi.
“Para ulama harus menjadi penyeimbang dalam setiap dinamika yang terjadi di tubuh NU,” jelasnya.
Syarbani juga mengingatkan pentingnya meneladani masa kepemimpinan Gus Dur, di mana kritik sosial justru dimanfaatkan untuk memperkuat NU.
Ia optimistis bahwa konflik ini dapat menjadi momentum bagi NU untuk memperbaiki tata kelola dan mengembalikan kepercayaan jamaah.
“Semua pihak harus mengutamakan kepentingan jam’iyyah dan jamaah di atas segala perbedaan,” pesannya.
Dengan langkah-langkah yang tepat, NU diharapkan tetap menjadi simbol persatuan dan perdamaian, bukan arena perpecahan. Kita tunggu bagaimana solusi ini akan diterapkan dalam waktu dekat. (er)