YOGYAKARTA, shalokalindonesia.com- Pelaksanaan Muktamar Intelektual Muda Muhammadiyah akhirnya bisa dilaksanakan pada tahun 2023 ini, dari semenjak 20 tahun terbentuknya JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) pada tahun 2003.
Kegiatan Muktamar dilaksanakan selama tiga hari yang bertempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Sebuah kota yang dekat dengan nuansa keilmuan dan gerakan kaum intelektual yang menghiasi sejarah panjang kota Yogyakarta tersebut.
Pada kegiatan muktamar ini tidak seperti muktamar yang biasanya dilaksanakan bagi keluarga besar Muhammadiyah, karena perbedaan yang signifikan atas rutinitas dan tradisi yang dilakukan oleh Muhammadiyah ketika muktamar.
Walaupun jumlah peserta jauh lebih sedikit tapi tetap menjadi representatif karena penyelenggaran muktamar diwakilkan oleh kader-kader pilihan dari berbagai kota sehingga menjadi forum nasional.
Kami sebagai peserta merasakan pada kegiatan muktamar ini memberikan banyak inspirasi dan pemikiran baru yang berangkat dari keresahan para kader terhadap internal Muhammadiyah maupun soal kebangsaan.
Kami akan menjelaskan lebih mendalam mengapa muktamar JIMM berbeda dengan muktamar pada umumnya dengan juga menghadirkan perspektif kritis terhadap masa depan Muhammadiyah dan bangsa Indonesia dalam isu nasional.
Namun, sebelumnya kita perlu mengetahui dan mengenal perkumpulan JIMM tersebut sehingga dapat memahami mengapa perlu adanya jaringan kaum intelektual di tubuh Muhammadiyah.
JIMM hanyalah sebuah perkumpulan (non-struktural) para kader dan aktivis Muhammadiyah yang menjadi suatu jaringan kuat dan ikatan dalam berorientasi untuk melahirkan para kader yang intelektual bagi Muhammadiyah.
Kader intelektual yang dimaksud tidak hanya sebagai seorang akademis tapi juga memberikan kontribusi nyata dalam praksisnya membela kelompok minoritas atau lemah.
Bagi kami sendiri merasakan betapa eksklusifnya JIMM ini sebelum adanya muktamar, karena yang bisa terlibat langsung mungkin kader yang bertempat hanya beberapa kota dan wilayah tertentu saja, tidak seluruhnya karena keterbatasan gerakan yang saya pahami.
Maka saya memahami JIMM ini adalah jalan sunyinya Muhammadiyah, karena tidak banyak kader yang tertarik untuk mengembangkan keilmuannya serta tidak memiliki kemauan yang lebih untuk berkorban membela kelompok lemah. Walaupun begitu, kita tidak bisa melakukan generalisasi atau secara dikotomis, karena bisa saja mereka yang tidak mengikuti JIMM tapi memiliki orientasi yang sama.
Tapi yang pasti adalah keberadaan JIMM dirasa sangat sunyi waktu itu atau mungkin disunyikan (saya tidak tahu pasti), sehingga wajar jika ada banyak kader yang tidak mengetahuinya.
Bersyukur kami sering diberikan wejangan dari para guru kami semenjak kuliah di Shabran UMS sehingga tertarik untuk berangkat dan mengikuti kegiatan muktamar ini. Mengapa muktamar ini berbeda dengan yang lain?, utamanya adalah soal titik berangkat dan orientasi yang diperjuangkan sehingga batasan segala formalitas dan strukturalistik tidak menjadi hambatan dalam ruang diskusi para kader.
Fokus muktamar ini membuka ruang diskusi seluasnya untuk membahas berbagai persoalan dan tantangan kedepan baik bagi Muhammadiyah maupun bangsa Indonesia. Berbagai tantangan dan persoalan yang tidak hanya berkaitan dengan ritual keagamaan tapi relevansinya dengan konteks sosial-politik keberagamaan.
Muhammadiyah sebagai organisasi besar dengan ideologi yang dimiliki juga niscaya untuk berhadapan dengan isu dan tantangan yang akan dihadapi. Setidaknya yang kami tangkap ada dua pokok bahasan sentral dalam forum muktamar tersebut yaitu bagaimana Muhammadiyah dapat memposisikan diri dalam dinamika perpolitikan nasional dan kehadirannya dalam dunia internasional.
Muhammadiyah memang pada dasarnya terikat dalam ideologi ketika berbicara mengenai politik yang mengharuskan untuk berpijak pada politik kebangsaan, tidak politik praktis. Prinsip ideologis dalam konteks politik disini cukup menunjukkan keharusan Muhammadiyah untuk menjadi organisasi masyarakat yang merangkul seluruh kepentingan umat.
Namun, seharusnya ideologi tersebut tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi ompong yang tidak memiliki kekuatan dan pengaruh untuk memberikan peran atas arah bangsa kedepan.
Hal ini penting untuk diperhatikan agar tidak hanya lembaga tapi juga seluruh kader dapat berdiaspora dalam posisi strategis kebangsaan sehingga tujuan dan orientasi Muhammadiyah bisa diperhitungkan.
Terlebih lagi, politik kebangsaan dengan menjunjung tinggi moralitas maka Muhammadiyah harus menjadi goalkeeper terhadap segala permainan kedzaliman dan penindasan yang menitikberatkan pada kepentingan bisnis baik individu maupun kelompok.
Bagaimana caranya?, tentu dengan membangun kekuatan internal dan berfokus pada konsolidasi kekuatan Muhammadiyah dalam tubuh pemerintahan.
Politik kebangsaan bukan berarti anti kekuasaan, namun menjadikan kekuasaan sebagai jalan menghadirkan kemajuan bangsa tersebut. Kekuasaan harus diperhitungkan dimulai dari konteks yang paling kecil dengan perencanaan blueprint yang jelas bahwa roadmap Muhammadiyah terhadap dinamika politik memiliki langkah strategis dan sistemik.
Kemudian dilanjutkan dengan melahirkan para kader yang berintegritas dan memiliki kompetensi dalam konteks politik. Langkah terakhir adalah memberikan jalan untuk memberdayakan para kader dengan membawa aspirasi dan kekuataan komunikasi aktif dari Muhammadiyah kepada pemerintah.
Isu yang kedua soal bagaimana kehadiran Muhammadiyah dalam konteks internasional sangat penting pada mutakhir ini, mengingat gerakan Muhammadiyah untuk mencerahkan dan menyelamatkan alam semesta.
Apa yang sudah dimiliki oleh Muhammadiyah dengan gerakan dan dakwah kemanusiaan bukan berarti sudah cukup modal untuk menjadi aktor penting dalam isu internasional.
Bagaimana seharusnya Muhammadiyah melakukan internalisasi berbagai isu dan tantangan terkait dengan krisis lingkungan, geopolitik internasional, sains dan teknologi seperti AI, kedamaian dunia, nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Muhammadiyah tidak hanya berbicara apa yang sudah dilakukan namun apa yang seharusnya akan kita lakukan bersama dalam umat universal. Persoalannya adalah bagaimana gerakan Muhammadiyah saat ini dalam pembangunan tidak pada konteks arsitektur konvensional lagi (kekuatan gedung dan penampilan mewah) yang cenderung pada kuantitas, tapi lebih kepada sisi fungsional gerakan dengan menekankan dimensi kualitas gerakan.
Ukurannya adalah seberapa jauh aset Muhammadiyah dapat menjadi setidaknya vitamin untuk menurunkan kadar penyakit kebodohan dan kemiskinan.
Berbicara tentang kedamaian dunia dan krisis lingkungan maka seberapa jauh warga Muhammadiyah menjadi uswatun hasanah (pelopor kebaikan) bagi kehidupan universal. Muhammadiyah masih memiliki tugas rumah cukup banyak diantara warganya yang masih terjebak pada paradigma konservatif yang dikotomis dan apatis terhadap isu lingkungan.
Satu hal lagi yang cukup sering diperbincangkan pada forum muktamar yaitu kembali menghidupkan nilai kebudayaan bagi bangsa Indonesia baik kebudayaan lokalitas maupun kebudayaan luhur sebagai jiwa bangsa.
Indonesia saat ini khususnya juga Islam sangat kering dengan aspek kebudayaan sehingga etika bangsa dan umat beragama cukup mengkhawatirkan karena beberapa fenomena elite politik justru cenderung merendahkan etika yang membuktikan bahwa budaya ketimuran, nilai luhur bangsa arahnya semakin rontok.
Bangsa yang hampir bisa jadi tidak terlalu mengenal hakikat dirinya karena seharusnya mereka saling gotong royong tapi justru pragmatisme transaksional yang dikedepankan. Kompromi atas ketidakadilan dan kerusakan sudah menggambarkan berapa rangking kebudayaan yang kita miliki.
Budaya yang kami pahami tidak hanya terbatas pada penampilan, ritual, ataupun kontes dramatikal musikal. Namun, menjadi value kehidupan atau bahkan bagian dari spiritualitas yang kita miliki sehingga agama dan budaya menjadi muara untuk melahirkan peradaban dengan tatanan moralitas yang unggul.