
SHALOKAL. INDONESIA, JAKARTA- Keluarga korban mengatakan trauma kehilangan anak mereka akan tetap hidup dalam ingatan mereka, Minggu (22/1/2023).
Maria Sanu menyambut dingin ungkapan penyesalan Presiden Joko “Jokowi” Widodo atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang menewaskan putranya yang berusia 16 tahun.
Perempuan 75 tahun itu ingin para pelaku dimintai pertanggungjawaban hukum, karena ungkapan penyesalan secara resmi seperti itu “tidak ada artinya,” katanya kepada BenarNews.
“Menyesal? Apa yang disesali? Ini sudah terjadi,” kata Maria.
Putra Maria, Stevanus Sanu, tewas dalam kebakaran di Mal Yogya Klender di Jakarta Timur pada 15 Mei 1998.
“Setiap kali Ibu ngomongin ini, Ibu pasti nangis,” kata Maria.
“Ibu yang mengandung, yang melahirkan, merawat dan mendidiknya, tapi tiba-tiba mereka bakar dia hidup-hidup. Betapa pedihnya hati ini,” ratapnya.
Pada 11 Januari, Jokowi menyatakan penyesalan yang mendalam atas 12 pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu yang terjadi antara tahun 1965 hingga 2003 yang mengakibatkan ratusan ribu orang tewas, termasuk tragedi kekerasan Mei 1998.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” kata Presiden Jokowi dalam keterangan persnya saat itu.
“Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban,” sambung Presiden Jokowi.
Kerusuhan Mei 1998 terjadi pada puncak krisis moneter di Asia dan di tengah ketidakpuasan yang meluas terhadap pemerintahan otoriter Suharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun.
Kerusuhan itu terjadi setelah empat mahasiswa tewas ditembak dalam unjuk rasa anti-Suharto pada 12 Mei di Universitas Trisakti di Jakarta.
Di berbagai tempat di Jakarta terjadi pembakaran yang meluas disertai penjarahan, menewaskan sekitar 1.200 orang, kebanyakan orang terjebak di pusat perbelanjaan yang terbakar. Kerusuhan juga pecah di kota-kota besar Indonesia lainnya, termasuk Surabaya dan Medan.
Polisi dan tentara tidak berbuat banyak untuk melindungi properti yang sebagian besar milik komunitas Tionghoa, yang sering menjadi sasaran kerusuhan karena mereka dianggap kaya dan berpengaruh.
Suharto mengundurkan diri pada 21 Mei tahun itu setelah demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang menduduki gedung parlemen
Ruminah, ibu dari seorang anak 17 tahun yang hilang setelah memasuki Mal Yogya Klender pada hari yang sama, memiliki perasaan campur aduk tentang pengakuan Jokowi.
“Saya lega pemerintah akhirnya mengakuinya. Tapi harus ada keadilan bagi para korban,” kata Ruminah, 66, kepada BenarNews di rumahnya di Klender, Jakarta Timur.
Ruminah mengaku tidak meminta kompensasi.
“Saya tidak meminta rumah, misalnya. Yang saya mau itu penjelasan kenapa begitu banyak orang yang mati terbakar, dan nggak ada yang melakukan apa-apa,” katanya.
Ruminah mengatakan putranya Gunawan, bergegas ke mal tersebut, di mana dia memiliki sebuah salon rambut, ketika dia mendengar bahwa mal itu dibakar oleh massa.
Setelah itu dia tidak pernah melihat Gunawan lagi. Lebih dari 100 orang tewas di mal itu, sebagian besar tubuh mereka hangus tak bisa dikenali. Beberapa tewas terjatuh untuk menghindari kobaran api.
“Saya menangis berhari-hari sampai kehilangan suara. Saya membesarkannya menjadi anak yang baik, jadi saya bersikeras agar dia dimakamkan dengan benar,” katanya.
“Suami saya mengambil satu kantong mayat dan menguburnya hanya supaya membuat saya berhenti menangis,” ujarnya, menambahkan bahwa ia tahu bahwa mayat dalam kantong itu “bukan anak kami.”
Dia menunjukkan dua foto Gunawan yang sudah pudar, satu foto Gunawan berseragam SMP dan satu lagi saat ia masih SD.
Ruminah mengatakan tragedi itu masih membekas dalam ingatannya. Dia melihat orang-orang sekarat di depannya setelah jatuh dari gedung dan dia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Trauma itu masih ada”
Tim pencari fakta yang dibentuk oleh pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie yang menggantikan Suharto menemukan bahwa massa diprovokasi untuk melakukan kekerasan oleh orang-orang yang terlihat terlatih.
Ditemukan juga bahwa 85 orang menjadi korban kekerasan seksual, kebanyakan berupa pemerkosaan berkelompok.
Tetapi tim relawan hak asasi manusia yang melakukan penyelidikan sendiri mengatakan jumlah korban mencapai lebih dari 152 orang, kebanyakan perempuan etnis Tionghoa, dan 20 dari mereka meninggal.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah mengklasifikasikan kekerasan tersebut sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia, sama dengan kasus-kasus kekejaman lainnya yang melibatkan aparat keamanan sejak tahun 1965, namun belum ada yang diadili.
Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) memuji pengakuan dan janji pemerintah untuk kompensasi sebagai hal “bersejarah.”
Ini “buah dari perjuangan panjang para korban dan keluarga mereka,” kata ketua IKOHI Wanmayetti. “Ini adalah langkah pertama yang baik menuju penyelesaian komprehensif atas pelanggaran HAM berat.”
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mohammad Mahfud MD, mengatakan Jokowi akan bertemu langsung dengan korban pelanggaran HAM dan keluarganya.
“Untuk menunjukkan kepada publik bahwa kita sungguh-sungguh, dalam waktu dekat Presiden akan mengunjungi beberapa daerah, misalnya Aceh,” kata Mahfud kepada wartawan.
Aceh adalah tempat konflik separatis berdarah di mana pasukan keamanan dituduh melakukan kekejaman termasuk pembunuhan massal dan penyiksaan, sebelum perjanjian damai ditandatangani pada tahun 2005.
Mahfud juga mengatakan pemerintah akan menjamin warga Indonesia yang diasingkan sebagian besar di Eropa timur yang dilarang kembali ke Tanah Air sejak 1960-an karena diduga berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia yang dilarang, akan diizinkan pulang.
“Kami akan menemui mereka dan meyakinkan mereka bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak yang sama,” kata Mahfud.
Namun demikian, bagi orang tua seperti Ruminah dan Sanu, tragedi itu akan tetap hidup dalam ingatan mereka. “Orang bilang setelah 25 tahun saya seharusnya melupakannya, tapi tidak. Trauma itu tetap ada pada saya, ”kata Ruminah. “Aku bahkan tidak ingin menginjakkan kaki di mal.”
“Orang-orang bilang setelah 25 tahun saya harusnya sudah lupa, tapi nggak. Trauma itu masih ada,” kata Ruminah.
“Saya bahkan nggak mau menginjakkan kaki di mal,” katanya. (Si/benarnews)
Editoe: Erma Sari, S.Pd
Ket foto:
Ruminah menunjukkan foto putranya Gunawan (foto kiri) yang hilang saat terjadi kerusuhan di Jakarta pada Mei 1998. [Ahmad Syamsudin/BenarNews]