JAKARTA, shalokalindonesia.com- Manajer kampanye pesisir dan laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Parid Ridwanuddin, menjelaskan sejak tahun 2017-2020 lebih dari 5.400 desa di pesisir Indonesia telah terendam banjir rob. Selain krisis iklim yang kian buruk, faktor lain yang menyebabkan bentang alam semakin rentan karena adanya beban industri besar di sepanjang pesisir di Indonesia.
“Kemudian terjadi ekstrasi air tanah berlebihan sehingga tanah mengalami penurunan 13-15 sentimeter per tahun. Karena tanah mengalami penurunan, kemudian pada saat yang sama terjadi kenaikan air laut trennya 0,8-1 meter. Itu artinya akan terjadi percepatan desa-desa tenggelam. Banjir rob akan semakin sering,” jelasnya.
Adapun daerah yang paling terancam adalah wilayah-wilayah pesisir yang sudah dibebani izin industri terutama di kawasan pantai utara Pulau Jawa. “Kemudian di pantai barat Pulau Sumatra itu sudah banyak juga desa-desa pesisir yang tenggelam karena percepatan kenaikan air laut,” ungkap Parid.
Walhi menyerukan agar pemerintah menghentikan dan mengevaluasi beban industri besar di pesisir Indonesia terkait dengan mitigasi banjir rob. “Pemerintah seharusnya mengevaluasi dan mencabut izin industri besar yang ada di pesisir termasuk pengambilan air tanah yang berlebihan seperti di Jakarta dan Jawa Tengah. Itu terjadi karena pembangunan tidak terkendali,” kata Parid.
Selanjutnya pemerintah harus memulihkan wilayah sempadan pantai untuk ekosistem pesisir.
“Seharusnya wilayah sempadan pantai 0-100 meter ke arah darat itu harus dialokasikan untuk wilayah terbuka hijau di pesisir dan tidak boleh dikaveling-kaveling untuk kepentingan industri,” ucap Parid.
Perubahan iklim telah berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat termasuk anak-anak di wilayah pesisir. Meningkatnya frekuensi banjir rob yang disebabkan perubahan iklim membuat semua pihak harus melakukan mitigasi dan memenuhi hak-hak anak ketika terjadi bencana demi keberlangsungan hidup serta tumbuh kembangnya.(shalokalindonesia.com/voa)