BANJARMASIN, shalokalindonesia.com– Sidang lanjutan perkara dugaan pengeroyokan dengan tiga terdakwa yakni Tambrin, A. Fadilah, dan Misran kembali digelar secara terbuka di Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin, Kamis (15/5/2025). Agenda sidang kali ini adalah pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari pihak terdakwa.

Dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Irfanul Hakim bersama dua hakim anggota, sidang ini juga menghadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mashuri, SH dari Kejari Banjarmasin. Masing-masing terdakwa didampingi oleh tim penasihat hukum dari Kantor Hukum Pasaribu Silaban Partners yang berkolaborasi dengan Kantor Hukum Syamsul Hadi, SH, MH.

Pledoi yang diajukan para kuasa hukum diberi tajuk menarik: “Korban Penganiayaan Menjadi Terdakwa dan Duduk di Kursi Pesakitan di Pengadilan”.

Dalam pledoi tersebut, para penasihat hukum menyampaikan permohonan agar majelis hakim memberikan putusan bebas bagi klien mereka. Alasannya, mereka menilai para terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pengeroyokan sebagaimana dakwaan JPU.

Pihak kuasa hukum menyoroti bahwa perkara ini memiliki kesamaan tempat, waktu, dan subjek hukum dengan perkara sebelumnya yang telah diputus pada 6 Februari 2025 dengan nomor perkara 1/Pid.C/2025/PN Bjm.

Dalam putusan tersebut, terdakwa Tambrin disebut sebagai korban dan pelaku yang menganiayanya telah divonis tiga bulan penjara dengan masa percobaan tujuh bulan.

“Ini jelas, posisi terdakwa Tambrin pada perkara sebelumnya adalah korban. Maka sangat tidak adil jika kini ia justru duduk di kursi terdakwa,” ujar Jhon Silaban, SH, MH, didampingi Ahmad Ramdhan, SH, MH, dan Syamsul Hadi, SH, MH, di hadapan majelis hakim.

Dalam pledoi, tim kuasa hukum juga mempersoalkan kejanggalan visum et repertum yang dijadikan alat bukti JPU.

Hasil visum menunjukkan adanya lebam di kaki kanan dan tangan kiri korban, namun keterangan korban di persidangan menyebut kaki kirinya yang lebam. “Lalu, kaki siapa yang sebenarnya lebam? Hanya Tuhan yang tahu,” sindir Jhon Silaban tajam.

Lebih lanjut, mereka menyebut tidak ada saksi yang secara langsung melihat peristiwa pengeroyokan, dan rekaman video yang diajukan pun diambil dua hari setelah kejadian.

Selain itu, mereka menilai bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan unsur pengeroyokan terpenuhi, khususnya tindakan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP.

Penasihat hukum juga mengingatkan potensi timbulnya disparitas (ketimpangan) dalam putusan pengadilan.

“Jangan sampai perkara yang sama, dengan subjek dan objek yang sama, malah melahirkan putusan yang berbeda. Ini bisa merusak prinsip keadilan dan kepastian hukum,” tegas Ahmad Ramadhan, SH.

Sebagai penutup, pihak kuasa hukum berharap majelis hakim menjatuhkan putusan yang adil dengan membebaskan para terdakwa. Mereka menegaskan bahwa membiarkan putusan ini berjalan tanpa mempertimbangkan fakta dan putusan terdahulu, sama saja membuka ruang bagi penyalahgunaan hukum.

“Kalau ini dibiarkan, bisa saja ke depan orang bebas menampar siapa saja lalu berbalik melaporkannya sebagai korban,” pungkas Jhon Silaban. (cory)

Iklan

Share:

Shalokal Indonesia

Shalokal Indonesia adalah media online dibawah PT Shalokal Mediatama Indonesia dengan kantor di Kalimantan Selatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *