
JAKARTA, shalokalindonesia.com— Gelombang keprihatinan kembali menggema dari Komnas Perempuan usai terbongkarnya kasus kematian tragis jurnalis muda berinisial J di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
J ditemukan tak bernyawa pada Sabtu, 22 Maret 2025, dan dugaan kuat mengarah pada femisida—pembunuhan terhadap perempuan yang dipicu oleh identitas gender dan relasi kuasa yang timpang.
Korban disebut telah mengalami kekerasan seksual berulang sebelum akhirnya dibunuh oleh terduga pelaku, Kelasi I TNI AL, Jumran.
Fakta ini menambah panjang daftar kasus femisida intim (pembunuhan oleh pasangan atau mantan pasangan) yang kerap terjadi dalam konteks relasi personal yang penuh kekerasan dan dominasi.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar tindak kriminal biasa. Ini adalah cermin dari situasi darurat femisida di Indonesia, di mana perempuan kehilangan nyawa akibat relasi kuasa yang timpang, kekerasan berbasis gender yang berulang, dan sistem perlindungan yang belum berjalan optimal.
Sepanjang 2024, Komnas Perempuan mencatat 290 kasus femisida dari pemberitaan media: 185 kasus terjadi di ranah privat, dan 105 kasus di ranah publik.
Namun, data ini dinilai masih jauh dari akurat karena tidak adanya sistem pencatatan resmi dan terpilah oleh negara.
“Kematian Jurnalis J mengingatkan kita bahwa femisida nyata, terus terjadi, dan sebagian besar masih tak terlihat,” ujar Komnas Perempuan dalam pernyataan resminya.
Sebagai respon atas situasi ini, Komnas Perempuan mendesak Presiden RI untuk segera memerintahkan pembentukan Femicide Watch, sebuah mekanisme nasional untuk mencegah, menangani, dan memulihkan kasus femisida.
Mekanisme ini penting agar negara dapat mengenali pola kekerasan terhadap perempuan yang berujung pada kematian serta memastikan hak-hak korban dan keluarganya terpenuhi.
Tujuh Rekomendasi Komnas Perempuan untuk Negara:
1. Presiden RI memerintahkan Menko Polhukam mengoordinasikan pembentukan Femicide Watch bersama K/L terkait.
2. Mahkamah Agung memastikan proses peradilan berlangsung adil, independen, dan bebas dari impunitas.
3. Denpom Lanal Banjarmasin diminta mengusut tuntas kasus ini secara transparan, dengan menggali relasi kuasa dan kekerasan yang dialami korban.
4. Penegakan UU TPKS digunakan dalam proses hukum, mengingat adanya dugaan kekerasan seksual berulang.
5. Menteri PPPA, Polri, dan BPS segera mengumpulkan dan mempublikasikan data statistik femisida, sebagai langkah awal pengawasan nasional.
6. Panglima TNI memastikan tidak ada impunitas bagi prajurit yang melakukan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
7. Menteri Hukum dan HAM segera mengoordinasikan perlindungan bagi perempuan pembela HAM (PPHAM) melalui kebijakan yang komprehensif.
Komnas Perempuan menyoroti bahwa saat ini proses hukum terhadap pelaku masih berada di jalur peradilan militer.
Berdasarkan Pasal 65 UU TNI dan TAP MPR No. VII/MPR/2000, pelanggaran pidana oleh anggota militer aktif seharusnya diproses di peradilan umum, terutama dalam kasus yang melibatkan warga sipil sebagai korban.
Femisida bukanlah sekadar akhir dari kekerasan, tetapi puncak dari siklus berulang yang sering diabaikan.
Negara tak lagi bisa menutup mata. Pembunuhan terhadap perempuan, apalagi oleh orang terdekatnya, tak bisa lagi dianggap insiden domestik biasa. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa keadilan untuk J adalah keadilan untuk seluruh perempuan Indonesia.
Sudah saatnya negara mengambil langkah tegas, menyusun sistem perlindungan nyata, dan memastikan bahwa tak ada lagi perempuan yang dibungkam oleh kekerasan. (rls)