BANJARBARU, shalokalindonesia.com- Banjarbaru pernah berada pada peringkat ke-7 kategori kuning (tidak schat) berdasarkan data yang dilansir dari Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu, 4 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB.

Kualitas udara Banjarbaru pada Bulan Agustus, September, hingga pertengahan Oktober tahun 2023 mengalami fluktuasi mulai kategori sangat tidak sehat hingga kategori sedang.

Hal ini disebabkan karena kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut di wilayah Banjarbaru, khususnya di wilayah Kecamatan Liang Anggang dan Landasan Ulin akibat kemarau panjang. Kondisi cuaca kering dan angin kencang memicu cepatnya penyebaran api yang terbakar di hutan dan lahan gambut.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada daerah tetangga seperti Banjarmasin, Kabupaten Barito Kuala, dan Kabupaten Banjar juga menyumbangkan tebalnya kabut asap di Banjarbaru.

Karhutla menyebabkan kabut asap dengan berbagai kandungan senyawa kimia dan partikel lain yang berdampak pada penurunan kualitas udara.

Bulan Agustus hingga Oktober 2023 Banjarbaru merasakan kabut asap yang tak terlupakan. Suhu udara juga mencapai puncaknya, mencapai rekor tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Warga berjuang melalui hari-hari yang terik dan berkabut. Ini membuat aktivitas sehari-hari menjadi sulit, terutama bagi anak-anak dan orang tua. Kabut asap akan memicu gangguan kesehatan, khususnya pernafasan.

Pemerintah Kota Banjarbaru telah menghimbau agar seluruh masyarakat selalu menggunakan masker ketika bepergian dan melakukan pencegahan yang dianjurkan guna melindungi diri sendiri dan keluarga dari dampak kabut asap. Upaya lainnya yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah melakukan pemadaman kebakaran dan pembasahan lahan gambut. Dengan upaya yang telah dilakukan, disertai dengan curah hujan yang cukup tinggi awal bulan ini membuat perubahan positif bagi kualitas udara dan membawa suhu yang lebih sejuk dan menyegarkan bagi Banjarbaru.

Fenomena alam ini tentunya perlu dilakukan tidakan pencegahan agar tidak terulang
pada kemudian hari.

Pencegahan dapat dibantu secara teknologi penginderaan jauh, seperti satelit dan sensor udara, dapat digunakan untuk memantau vegetasi dan perubahan kondisi hutan. Data dari teknologi ini dapat membantu mengidentifikasi daerah-daerah yang mungkin mengalami kekeringan atau stress tanaman, yang dapat mengindikasikan potensi kebakaran.

Bioindikator juga dapat menjadi sarana yang menawarkan pencegahan secara alami. Salah satunya adalah dengan tanaman seperti jenis eukaliptus (Eucalyptus spp.) yang memiliki kulit berserat dan tahan api.

Kebakaran dapat merangsang pelepasan benih dari kapsulnya, memungkinkannya untuk tumbuh kembali, yang kemudian dapat diartikan sebagai sinyal telah terjadinya kebakaran. Serta juga perubahan tingkat polusi yang menambah ancaman kesehatan yang dapat dengan sensitif dideteksi oleh jamur lichen yang berspesies Lecanoromycetes.

Dengan memantau perkembangan dari tanaman dan jamur lichen ini, para peneliti dan ahli lingkungan dapat mengidentifikasi daerah yang rentan terhadap kebakaran dan mengambil langkah-langkah pencegahan lebih lanjut yang diperlukan. (shalokalindonesia.com/Mhs Biologi FMIPA ULM)

Karya: Siti Rezqina Kamilya’, M. Azhar Djulhadiansyah’, Ahya Nabila’, & Sasi Gendro Sari, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambung
Mangkurak
Email: [email protected]

Foto: Humas Bandara Syamsudin Noor

Iklan

Share:

Shalokal Indonesia

Shalokal Indonesia adalah media online dibawah PT Shalokal Mediatama Indonesia dengan kantor di Kalimantan Selatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *