
BANJARBARU, shalokalindonesia.com— Kasus hukum yang menimpa UMKM Mama Khas Banjar tengah menjadi perbincangan hangat. Di satu sisi, publik ramai menyuarakan simpati.
Di sisi lain, aparat hukum tetap bergerak berdasarkan prosedur dan bukti. Di sinilah emosi dan rasionalitas bertemu, saling bersinggungan, bahkan berbenturan.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana informasi di era digital kerap dikonsumsi tidak lagi berdasarkan fakta utuh, melainkan pada bagaimana informasi itu dikemas.
Emosi menjadi alat yang ampuh untuk menggugah—dan sekaligus mengaburkan logika.
Dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat, A. Bayu Candra, menanggapi fenomena ini dengan menekankan bahwa pendekatan emosional dalam penyampaian informasi sering digunakan untuk menarik simpati, namun bisa menyesatkan bila tak dibarengi dengan rasionalitas.
“Banyak informasi yang dibungkus dengan rasa iba, seolah-olah sebuah usaha kecil sedang dizalimi. Padahal, kita negara hukum. Usaha kecil, menengah, maupun besar—semuanya tunduk pada aturan yang sama. Jika ada pelanggaran, tentu harus diproses,” ujar Bayu.
Ia menambahkan, framing yang menggiring opini publik untuk melihat kasus Mama Khas Banjar semata sebagai kriminalisasi, patut dikritisi.
“Kriminalisasi itu bisa jadi hanya kesan emosional yang muncul akibat pengemasan informasi yang tidak utuh. Ini berbahaya, karena bisa mengaburkan akar masalah sebenarnya,” lanjutnya.
Publik, menurut Bayu, cenderung cepat tergerak oleh narasi-narasi yang menonjolkan penderitaan, tanpa memverifikasi fakta di baliknya. Padahal, aparat kepolisian dalam hal ini Polda Kalsel, bergerak berdasarkan laporan masyarakat, didukung oleh data, bukti, serta prosedur hukum yang berlaku.
“Penting bagi kita untuk menyaring informasi dengan kepala dingin. Jangan sampai karena rasa kasihan, kita menutup mata terhadap pelanggaran aturan. Sama seperti makanan, informasi yang kita konsumsi akan memengaruhi ‘kesehatan’ cara berpikir kita,” ujarnya.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa di tengah banjir informasi, masyarakat harus bijak menimbang antara rasa dan logika.
Menyikapi informasi secara emosional memang manusiawi, tetapi tidak boleh mengalahkan kebutuhan untuk berpikir kritis dan objektif. (na)