
JAKARTA, shalokalindonesia.com– Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) Provinsi Kalimantan Selatan melayangkan gugatan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 15 Mei 2025, tepat pukul 00.01 WIB.
Gugatan ini diajukan sebagai bentuk perlawanan terhadap dugaan kriminalisasi Ketua DPD LPRI Kalsel, Syarifah Hayana, S.H., yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka usai mengungkap pelanggaran dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilwalkot Banjarbaru 2024.
Langkah hukum ini menyoroti ketidakberesan serius dalam proses demokrasi lokal. LPRI menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Syarifah Hayana pada 12 Mei 2025 diduga kuat merupakan upaya sistematis untuk membungkam pemantau pemilu yang kritis dan independen.
“Ini bukan sekadar kriminalisasi terhadap satu orang, tetapi bagian dari pola tekanan untuk melemahkan suara masyarakat sipil. Kami percaya Mahkamah Konstitusi tidak akan membiarkan demokrasi dilumpuhkan lewat intimidasi,” tegas Tim Hukum Hanyar Banjarbaru.
LPRI menjadi satu-satunya lembaga pemantau independen yang terlibat langsung saat PSU digelar pada 19 April 2025. Dalam pengawasan di lapangan, LPRI menemukan indikasi pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Dugaan pelanggaran tersebut meliputi praktik politik uang secara meluas, keterlibatan oligarki dan aparatur negara, hingga tekanan terhadap pemilih dan pemantau—termasuk intimidasi langsung terhadap Syarifah Hayana.
Sebelumnya, MK telah memerintahkan PSU melalui Putusan No. 05/PHPU.WAKO-XXIII/2025 setelah menerima gugatan dari Lembaga Studi Visi Nusantara.
Namun, LPRI menilai bahwa PSU justru diwarnai pelanggaran yang lebih serius, yang kini justru berujung pada kriminalisasi pihak yang mengawasi.
Dalam gugatannya, LPRI meminta Mahkamah Konstitusi untuk
1. Menerbitkan putusan sela sesuai Pasal 63 UU MK guna menunda keberlakuan status tersangka terhadap Syarifah Hayana;
2. Menyatakan bahwa penetapan tersangka tersebut tidak sah dan melampaui kewenangan lembaga penegak hukum;
3. Menetapkan bahwa LPRI memiliki kewenangan konstitusional untuk mengajukan sengketa terhadap hasil PSU Pilwalkot Banjarbaru.
“Perjuangan kami bukan untuk pribadi, tapi untuk melindungi demokrasi dari kekuatan yang ingin mencederainya. Suara rakyat adalah mandat tertinggi yang tak boleh dipermainkan,” ujar Syarifah Hayana, S.H.
LPRI juga mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, aktivis, dan media untuk ikut mengawal kasus ini sebagai ujian penting bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. (er)