
BANJARMASIN, shalokalindonesia.com– Langkah pemerintah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 menuai kritik tajam dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan.
Meski pemerintah mengklaim telah mengamankan lebih dari satu juta hektare lahan sawit ilegal, WALHI menilai kebijakan ini hanya menyentuh permukaan dan berpotensi memperparah kerusakan lingkungan serta ketimpangan agraria.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalsel, Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono, S.P., M.Ling., menegaskan bahwa kebijakan ini mengandung muatan struktural yang membahayakan.
“Penertiban ini justru menjadi pintu masuk baru bagi negara dan korporasi untuk memperluas kontrol atas lahan. Ini bukan langkah pemulihan, melainkan bentuk lain dari monopoli ruang hidup masyarakat,” ujarnya kepada awak media, Jumat (23/5/2025).
WALHI Kalsel mengungkap lima isu krusial terkait keberadaan dan kinerja Satgas PKH:
Pertama, Pendekatan represif, bukan restoratif
Satgas ini dikomandoi oleh Menteri Pertahanan, bukan Menteri Lingkungan Hidup.
“Hal ini mengindikasikan fokus pada pendekatan keamanan, bukan pemulihan ekosistem, ” jelasnya.
Kedua, serah kelola kepada Agrinas melanggengkan masalah lama.
“Pengalihan lahan bekas sawit ilegal kepada BUMN seperti Agrinas hanya memperpanjang praktik eksploitasi lahan secara komersial,” ucapnya.
Ketiga, tak ada rencana pemulihan ekologis nyata
artinya wilayah yang terdampak kerusakan harusnya menjadi prioritas untuk direstorasi, bukan kembali dijadikan komoditas ekonomi.
Keempat, pengabaian terhadap hak komunitas lokal dan adat.
“Banyak lahan yang ditetapkan sebagai ilegal ternyata sudah dikelola turun-temurun oleh masyarakat. Satgas berpotensi menjadi alat penggusuran legal,” terangnya.
Terakhir, kurangnya keterbukaan dan keterlibatan publik.
Hingga kini, pemerintah belum mempublikasikan data transparan terkait wilayah yang ditertibkan, perusahaan pelanggar, serta mekanisme pengawasan publik.
WALHI Kalsel mendesak pemerintah untuk menghentikan rencana pengelolaan lahan oleh Agrinas dan segera membuka ruang dialog yang inklusif, adil, dan berbasis pada keadilan ekologis.
“Sudah saatnya negara berpihak pada rakyat dan lingkungan, bukan lagi pada oligarki agraria,” tutup Rafiq. (na)