SHALOKAL. INDONESIA, JAKARTA- Gempa bumi yang melanda Turki menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Sejumlah langkah diperlukan untuk mengantisipasi dampak dahsyat, mengingat kedua negara tersebut memiliki potensi bahaya yang serupa.

Indonesia dan Turki memiliki kemiripan dalam hal potensi bencana gempa. Sejumlah sesar besar yang dimiliki kedua negara menjadi ancaman yang dapat menimbulkan gempa sewaktu-waktu. Karena itulah, kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Prof Dwikorita Karnawati, Indonesia harus belajar dari apa yang terjadi di Turki saat ini.

Misalnya, peta potensi gempa bumi yang belum diperbaharui setidaknya dalam enam tahun terakhir.
“Diperlukan pemutakhiran atau pengembangan peta bahaya gempa bumi, yaitu seismic hazard map. Dengan melihat kenyataan, ternyata belum semua patahan-patahan yang dapat memicu gempa bumi itu, belum semuanya terpetakan. Masih ada yang belum terpetakan,” kata Dwikorita dalam pertemuan dengan media, Kamis (24/2).

BMKG telah mengundang pakar dari berbagai lembaga, baik dalam maupun luar negeri untuk mendiskusikan apa yang bisa dipelajari dari gempa Turki. Turut hadir dalam pertemuan ini, sejumlah peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cambridge University, United States Geological Survey, dan Hokkaido University.

Rekomendasi Para Ahli

Pertemuan tersebut menelurkan sejumlah rekomendasi.

Selain terkait peta kerawanan gempa, forum juga merekomendasikan penguatan kajian ground motion atau kajian getaran tanah. Menurut Dwikorita, BMKG dan lembaga lain seperti ITB dan BRIN telah melakukan upaya tersebut.

“Sejak tahun lalu, telah terbentuk konsorsium nasional gempa bumi dan tsunami. Kumpulan para pakar dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga di Indonesia yang terus melakukan kajian. Kita ada kajian menguatkan sistem processing, yang hasil kajiannya apabila sudah teruji segera dioperasikan oleh BMKG,” kata mantan rektor UGM itu.

Fokus persiapan adalah pada penanganan dampak, bukan terhadap gempa itu sendiri. Gempa tidak bisa dicegah, tetapi semua pihak dapat berkontribusi untuk menekan dampak kejadian katastropik yang mengikutinya

Para pakar juga mengingatkan perlunya penguatan sistem mitigasi gempa bumi dengan pengembangan studi, kajian, riset dan teknologi. ITB dan BMKG saat ini sedang mengirim pakarnya untuk menjalin kerja sama dengan Cambridge University, Inggris, untuk memperkuat kajian.

Indonesia juga dinilai perlu menguatkan sistem monitoring kegempaan secara kontinu dan komprehensif.

Melihat begitu banyak gedung runtuh di Turki, para pakar juga sepakat bahwa aturan pembangunan gedung harus disusun dengan lebih baik. Namun, jauh lebih penting dari itu adalah pelaksanaannya di lapangan. Harus dipastikan bahwa pemerintah hanya mengizinkan pembangunan bangunan tahan gempa, khususnya di daerah rawan. Pembangunan ribuan rumah di kawasan Cianjur saat ini, pasca gempa besar yang terjadi, bisa dijadikan cerminan terkait komitmen itu.

Penelitian Sangat Penting

Berbicara secara daring dari Inggris, Guru Besar Seismologi ITB Prof. Dr. Sri Widiyantoro menyatakan komitmen untuk terus melakukan studi terkait sesar aktif di Indonesia.

“Dari kajian yang sedang kami lakukan, memang gempa di darat di Indonesia itu banyak sekali. Namun kami yakin belum semua teridentifikasi. Jadi studi sesar aktif akan terus kami galakkan, kami lanjutkan,” ujarnya.

Dia berharap penegakan hukum terkait standar kualitas bangunan harus ditegakkan untuk menekan dampak gempa.

Dr Pepen Supendi, peneliti dari BMKG, menyinggung tentang pemutakhiran peta rawan gempa.

Dengan semakin banyaknya penelitian yang akan dan sudah dilakukan akhir-akhir ini, tentu akan meng-update peta bahaya gempa yang kemudian nanti akan diperbaharui beberapa tahun ke depan. Dan itu sangat-sangat penting untuk diikuti oleh building code,” tegasnya.

Sementara Dekan Fakultas Sains Kebumian ITB Dr Irwan Meilano menegaskan pihaknya fokus pada pendefinisian sumber gempa. Belajar dari gempa Turki lalu, Irwan setuju sejumlah langkah memang harus diambil.

Dia mengatakan peningkatan kapasitas pengamatan, terutama dalam pengumpulan data, sangat penting.

“Karena dengan memiliki data demikian, maka kita bisa memberikan informasi yang baik terkait dengan segmentasi dari sumber gempa, kemudian variasi dari laju geser, kemudian pengulangan gempa bumi, dan juga dinamika rupture,” ujar Irwan.

Catatan Badan Geologi

Selama 2022 Badan Geologi mencatat terjadinya 24 gempa bumi yang merusak Nusantara. Gempa merusak pertama terjadi di Halmahera, Maluku Utara pada 10 Januari 2022 sedang gempa merusak terakhir di 2022 terjadi di Kuningan, Jawa Barat pada 22 Desember. Sepanjang tahun lalu, gempa bumi merusak mengakibatkan 663 orang meninggal dan 1.563 orang luka-luka.

Sepanjang 2022, gempa bumi paling banyak menimbulkan korban terjadi di Cianjur pada 21 November. Gempa berkekuatan 5,6 magnitudo itu mengakibatkan 635 orang meninggal, dan 1.083 orang luka-luka.

Selain di Cianjur, gempa bumi berkekuatan 6,2 magnitudo juga meluluhlantakkan Pasaman, Sumatra Barat pada 25 Februari 2022. Bencana itu menelan 27 korban meninggal dan 457 orang luka-luka. (si/voa)

Ket foto: Kepala BMKG Dwikorita Karnawati. (Foto: Courtesy/BMKG)

Iklan

Share:

Shalokal Indonesia

Shalokal Indonesia adalah media online dibawah PT Shalokal Mediatama Indonesia dengan kantor di Kalimantan Selatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *