
KAPUAS, shalokalindonesia.com– Kasus yang sudah hampir 8 bulan tersangkut di Polres Kapuas semakin memanas. Laporan polisi nomor 03/RH-RHS/VIV2024 atas nama Siti Noer Ellyda, yang didampingi Penasehat Hukum Robert Hendra Sulu, SH, MH, menyasar Hardi, Aries Vina Nita, dan Bongkaca.
Hingga kini, belum terlihat adanya perkembangan nyata dalam penanganan kasus yang diduga melibatkan tindak pidana umum dan tindak pidana khusus di bidang perbankan.
Menurut keterangan Robert Hendra Sulu, SH, MH, laporan yang diajukan sejak 30 Juli 2024 tersebut belum menunjukkan kejelasan proses.
Meskipun kliennya telah memberikan keterangan dan bukti awal secara kooperatif, penyelidikan diduga tidak mengalami kemajuan signifikan.
Hal ini semakin diperparah oleh indikasi bahwa aparat kepolisian, khususnya oknum berpangkat AIPTU berinisial BF dari Unit 5 V/Harda Satreskrim Polres Kapuas, tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 2022, yang mengamanatkan tindakan profesional, proporsional, dan tidak diskriminatif.
Pada tanggal 24 Maret 2025, dilakukan mediasi yang dihadiri oleh sejumlah pihak, antara lain oknum polisi BF, anggota Provos Polres Kapuas, serta pihak-pihak terkait seperti Siti Noer Ellyda, Putriana Rezky AM, dan H. Syahransyah.
Dalam mediasi tersebut, terungkap bahwa terlapor menyerahkan tiga buku deposito dengan nilai total mencapai Rp750 miliar, serta bukti transfer sebesar Rp250 miliar ke rekening Siti Noer Ellyda.
Identitas pada buku deposito mengalami pergantian nama, mulai dari H. Syahransyah, kemudian Aries Vina Nita, hingga akhirnya Nurul Helmila, yang kemudian menimbulkan dugaan tindak pidana penggelapan.
Dugaan pelanggaran tidak berhenti pada transaksi deposito semata. Tercatat pada mediasi tanggal 24 Maret 2025, oknum polisi yang berperan sebagai mediator diduga tidak menyusun berita acara mediasi yang seharusnya menjadi dasar penyelesaian perkara.
Akibatnya, pada hari yang sama, pelapor dan kuasa hukumnya diminta untuk menandatangani surat pencabutan laporan. Langkah tersebut segera mendapat perlawanan, terutama setelah pada 27 Maret 2025 muncul surat pencabutan surat kuasa yang menurut keterangan H.
Syahransyah, tidak pernah disetujuinya. Kuasa hukum menilai surat pencabutan tersebut cacat formil dan materiil sehingga dinyatakan batal demi hukum, dan surat kuasa tertanggal 22 Januari 2025 masih tetap berlaku.
Insiden tersebut telah melahirkan tuduhan atas adanya intimidasi dan diskriminasi oleh oknum polisi, sehingga kasus ini kini dilaporkan ke Polda Kalteng dengan nomor 09/RH-RHS/IV/2025.
Sementara itu, pihak Kapolresta Kapuas melalui humas belum memberikan keterangan resmi, sehingga masyarakat menunggu kejelasan serta langkah nyata dari aparat penegak hukum.
Kasus yang sarat dengan berbagai dugaan pelanggaran prosedur ini telah memicu keprihatinan publik.
Banyak pihak berharap agar penyelidikan segera diselesaikan dengan tuntas, sehingga keadilan dapat ditegakkan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian kembali pulih. (cory)