
BANJARMASIN, shalokalindonesia.com- Kasus yang menimpa pelaku usaha kuliner lokal “Mama Khas Banjar” di Banjarbaru menuai sorotan publik.
Produk olahan khas Banjar yang dikenal luas di Kalimantan Selatan itu disebut menghadapi kendala hukum terkait kelengkapan label, terutama pencantuman tanggal kedaluwarsa pada kemasan produk.
Kejadian ini memunculkan pertanyaan publik soal sejauh mana perlindungan dan pembinaan pemerintah terhadap UMKM di daerah.
Menanggapi hal tersebut, Akademisi Prof. Muhammad Uhaib As’ad, memberikan pandangannya secara komprehensif.
Ia menyayangkan pendekatan represif yang masih kerap diterapkan terhadap pelaku UMKM yang sejatinya masih membutuhkan pendampingan intensif, bukan hanya pengawasan.
“Kasus Mama Khas Banjar ini seharusnya menjadi cermin, bukan sekadar untuk menunjuk kesalahan pelaku usaha, tetapi untuk melihat di mana negara dalam hal ini pemerintah daerah—belum maksimal menjalankan peran edukatif dan pendampingan kepada pelaku UMKM,” ujar Uhaib dalam wawancara khusus, Kamis (8/5/2025)
Menurutnya, pelaku UMKM seperti Mama Khas Banjar bukan sekadar entitas bisnis, melainkan bagian dari identitas budaya lokal yang turut melestarikan kuliner Banjar sekaligus menggerakkan roda ekonomi masyarakat.
Maka dari itu, ia menilai pentingnya pendekatan regulasi yang proporsional mencakup tegas dalam standar, namun juga bersifat membina dan memberdayakan.
Uhaib menyoroti bahwa banyak pelaku UMKM yang belum memahami teknis pencantuman informasi label, termasuk tanggal kedaluwarsa, komposisi bahan, izin edar, hingga standar pengemasan yang layak.
Hal ini bukan sepenuhnya karena kelalaian, tetapi lebih karena minimnya akses terhadap pelatihan, informasi, dan pendampingan dari instansi terkait.
“Ada semacam jurang antara kewajiban regulatif dan kapasitas pelaku usaha. Pemerintah semestinya hadir menjembatani, bukan menjerat,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar instansi seperti Dinas Kesehatan, Dinas Perdagangan, dan Dinas Koperasi dan UMKM bekerja lebih kolaboratif dalam menyediakan ruang konsultasi, workshop teknis, serta program pelabelan produk UMKM yang murah, mudah, dan terstandar.
Prof. Uhaib juga mendorong agar pemerintah daerah dan DPRD Kalimantan Selatan merumuskan regulasi atau peraturan daerah (perda) yang benar-benar memihak pada pertumbuhan UMKM.
Ia mencontohkan perlunya perda yang mengatur tentang “zona aman UMKM” di mana pelaku usaha diberi waktu pembinaan sebelum dikenai sanksi administratif jika terjadi pelanggaran nonfatal.
“Perlu ada tahapan pembinaan, bukan langsung tindakan hukum atau penyitaan. Ini penting agar semangat wirausaha rakyat tidak mati karena ketakutan atau ketidaktahuan,” tegasnya.
Kasus ini, lanjut Uhaib, bisa menjadi titik tolak untuk evaluasi besar-besaran terhadap kebijakan pembinaan UMKM, khususnya dalam hal pelabelan, legalitas produk, dan keamanan pangan.
Ia mendorong agar pemerintah tidak hanya mengadakan pelatihan sesekali, tetapi membentuk satuan tugas UMKM yang aktif mendampingi dari hulu ke hilir: dari produksi hingga pemasaran.
“UMKM bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal harga diri masyarakat daerah. Kita perlu memastikan mereka tumbuh di tanah sendiri dengan perlindungan yang nyata, bukan hanya slogan,” pungkasnya.
Dengan meningkatnya kesadaran publik terhadap pentingnya perlindungan UMKM, Uhaib berharap agar kasus seperti Mama Khas Banjar tidak menjadi trauma bagi pelaku usaha lain, melainkan pelajaran kolektif yang mendorong perbaikan sistemik dalam tata kelola usaha kecil di Kalimantan Selatan.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Banjarbaru, Drs. Leonard Duma, Apt., MM., mengingatkan para pelaku usaha pangan untuk jujur dan bertanggung jawab dalam mencantumkan informasi pada kemasan produk, khususnya tanggal kedaluwarsa.
Ini sebagai bentuk komitmen BBPOM dalam memastikan perlindungan konsumen dari bahaya produk pangan.
“Tanggal kedaluwarsa bukan sekadar tulisan. Itu adalah penanda penting bahwa produk masih aman dan layak konsumsi. Ini bentuk perlindungan nyata bagi masyarakat,” jelas Leonard.
Menurutnya, mencantumkan tanggal kedaluwarsa juga menjadi perlindungan hukum bagi produsen.
Jika terjadi keracunan setelah produk dikonsumsi melewati masa kedaluwarsa, maka tanggung jawab tidak lagi berada pada produsen. Namun, jika produk masih dalam masa berlaku dan tetap menimbulkan efek buruk, maka itu jadi tanggung jawab produsen.
Selain itu, Leonard menegaskan pentingnya mencantumkan informasi lengkap seperti nama produk, komposisi bahan, berat bersih, kode produksi, alamat produsen, sertifikasi halal, hingga izin edar resmi.
“Semua informasi ini wajib. Bukan untuk mempersulit, tetapi untuk menjamin keamanan pangan dan hak konsumen,” tegasnya.
BBPOM Banjarbaru juga terus mengimbau masyarakat agar lebih cermat memilih produk, serta tidak segan melaporkan jika menemukan produk mencurigakan di pasaran.
Terpisah, Koordinator Aliansi Masyarakat Pemerharti Kalimantan (AMPIK), Hendra menyampaikan, dirinya memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada Polda Kalsel yang telah menegakan hukum kepada toko Mama Khas Banjar yang diduga tidak mencantumkan label kaduarsa diproduknya.
“Semoga tidak ada lagi pelaku UMKM yang tidak mencantumkan label kaduarsa, dan warga bisa lebih terjaga kesehatannya, ” harapnya.
Editor: Erma Sari, S. Pd