
BANJARBARU, shalokalindonesia.com- Hilangnya hak pilih seseorang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Hak pilih, sebagai bagian dari kebebasan menyampaikan pendapat, seharusnya dijaga oleh semua pihak, terutama oleh penyelenggara pemilu. Namun, apa yang terjadi jika justru pihak yang bertanggung jawab malah menjadi penyebab hilangnya hak tersebut?
Pasal 178 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 secara tegas menyatakan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya akan dikenakan hukuman penjara 12 hingga 24 bulan dan denda Rp12 juta hingga Rp24 juta. Aturan ini awalnya ditujukan untuk individu atau kelompok di luar penyelenggara. Namun, apa jadinya jika penyelenggara pemilu yang seharusnya melindungi hak pilih malah menjadi pelaku?
Di Banjarbaru, potensi kehilangan hak pilih dalam Pilkada menjadi sorotan. Dari total 195.819 pemilih, hanya 36.135 suara yang dinyatakan sah. Ini berarti 159.684 pemilih berpotensi kehilangan hak pilih mereka. Jika setiap individu menuntut keadilan berdasarkan pasal tersebut, konsekuensi hukum dan finansial bagi penyelenggara bisa menjadi luar biasa besar.
Ketika penyelenggara pemilu, yang semestinya menjaga integritas proses demokrasi, gagal menjalankan tugasnya, maka pertanyaan besar muncul: siapa yang bertanggung jawab? Apakah sanksi yang diberikan cukup memberikan efek jera? Dan yang lebih penting, bagaimana memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa depan?
Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk lebih serius menjaga hak pilih warga negara. Sebab, demokrasi hanya akan berarti jika setiap suara dihargai dan dilindungi.
Oleh: Noorhalis Majid