
SHALOKAL.INDONESIA, JAKARTA- Mahkamah Konstitusi menguatkan putusan pelarangan pernikahan beda agama. Namun, pada praktiknya cinta selalu menggiring dua insan yang berbeda agama melenggang ke pelaminan melalui beragam jalan.
Pernikahan selalu menjadi hari bahagia setiap pasangan, tidak terkecuali bagi Abitya. Pada suatu waktu di 2009, keluarga besarnya berkumpul di sebuah gereja di Yogyakarta. Semua tampak terlihat biasa meski kedua mempelai memiliki latar belakang yang berbeda. Keluarga besar Abitya seluruhnya Muslim, sedang istrinya berasal dari keluarga penganut Kristen yang taat.
Suasananya seperti pernikahan umumnya, kata Abitya, saat menceritakan peristiwa itu kembali kepada VOA. Wajah-wajah gembira mendoakan pasangan langgeng.
“Tapi kita kan enggak tahu isi hatinya. Waktu menikah, selain ada pemberkatan nikah, ada resepsinya juga. Malamnya ada resepsi meskipun kalangan kecil, kerabat dekat. Hanya makan-makan, mengundang sekitar 50 orang, keluargaku, keluarga dia, sama teman-teman dekat,” paparnya
Pemberkatan pernikahan di gereja itu adalah ujung dari pergumulan panjang dua pribadi, sekaligus keluarga mereka masing-masing. Keduanya telah berkenalan dua tahun sebelum menikah, dan setahun lebih dihabiskan untuk melakukan pendekatan. Mereka ingin hidup bersama, tetapi tetap berpegang pada agama masing-masing.
“Sempat dipisahkan beberapa kali oleh orang tua. Tetapi, akhirnya mereka menerima, enggak tahu kenapa, mungkin karena takdir berjodoh, akhirnya menerima,” ujar Abi.
Menikah Dua Agama
Ijab kobul di depan penghulu tidak mungkin dilakukan jika istrinya tidak mau masuk Islam, begitupun sebaliknya. Namun, gereja Kristen, tempat istri Abitya biasa beribadah akhirnya membuka jalan dengan sejumlah ketentuan.
“Kami ada kesepakatan waktu itu, anak-anak akan ikut keyakinan ibunya sampai umur dewasa. Katakanlah sampai 17 tahun nanti. Setelah itu, mereka bebas memilih apakah akan masuk Islam, atau Kristen,” tambahnya
Namun kehadiran anak tidak serta merta mengubah sikap keluarga besar istrinya yang berdarah Manado yang sekaligus juga merupakan keluarga tokoh Kristen.
“Mertua, kalau menengok cucu, seperti nengok orang sakit, enggak lama di rumah. Jangankan menginap satu-dua hari, datang cuma setengah jam, satu jam, dan menginap di hotel. Sampai anak kedua, ketiga lahir, kondisi berubah normal,” paparnya lagi.
Yang agak unik adalah setelah pemberkatan di gereja. Abitya meminta istrinya untuk mau dinikahkan secara muslim di depan kyai karena ingin merasakan kemantaban hati. Permintaan itu dipenuhi, dan keduanya menikah siri secara Islam pasca pemberkatan itu.
Abitya mengaku sepanjang 14 tahun pernikahan, dia dan istrinya tidak pernah berdebat soal agama. Bahkan, istrinya sering mendorongnya beribadah. Jika Idulfitri tiba, suasana rumah juga dihias layaknya keluarga merayakan Lebaran, begitupun sebaliknya.
Dua Agama di Ujung Usia
Kisah berbeda terjadi di keluarga Bagus. Ayahnya, seorang Katolik ketika menikahi ibunya yang Muslim. Pada perkawinan sekitar tahun 80-an itu, keduanya sepakat menikah secara Islam. Bagus dan kakaknya ikut menjadi Muslim seperti ibu mereka.
Sepanjang pernikahan itu tidak ada masalah timbul. Mereka hidup satu halaman dengan keluarga besar ayahnya yang tetap menjadi pemeluk Katolik yang taat. Sepanjang tahun-tahun pernikahan itu, aktivitas keagamaan sang ayah relatif tidak jelas. Kondisi yang akrab di pedesaan Jawa, di mana prinsip hidup abangan masih kental.
Menjelang wafatnya sang ayah, Bagus yang mendampingi berusaha merawatnya dengan tuntunan sebagai Muslim. Ketika kondisi kesehatannya memburuk, doa-doa secara Islam diberikan. Namun, keluarga besar ayahnya tetap turut mendoakan sesuai ajaran Katolik. Keluarga besar juga yakin, ayah Bagus sebenarnya tetap seorang Katolik.
“Ketika ayah meninggal, saya ambil keputusan memakai cara Islam dalam prosesinya. Karena ini urusan saya dengan Yang Menciptakan Kehidupan,” ujarnya kepada VOA.
Keluarga besar ayahnya kemudian meminta izin untuk menggelar sembahyangan atau prosesi doa secara Katolik di rumah yang berbeda.
“Karena bagaimanapun, keponakan-keponakan yang dari sisi ayah saya kan masih Katolik, dan mereka juga ingin mendoakan ayah. Jadi, mereka membuat acara sendiri untuk mendoakan almarhum,” katanya lagi.
Gugatan Kandas di MK
Polemik perkawinan beda agama kembali mencuat setelah E. Ramos Petege memohon pengujian UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) UU ini menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam sidang pengajuan perkara pada 16 Maret 2022, salah satu kuasa hukum pemohon Ni Komang Tari Padmawati menyatakan pemohon adalah seorang pemeluk Katolik dan hendak menikahi muslimah, tetapi batal karena tidak diakomodasi UU Perkawinan.
Kegagalan dari perkawinan itu terjadi karena adanya intervensi golongan yang diakomodir oleh negara, melalui UU Peekawinan,” papar Ni Komang
Dalam sidang lanjutan pada 28 Juli 2022, pemohon mengajukan dua ahli untuk mendukung upaya ini, yaitu dosen komunikasi Universitas Indonesia, Ade Armando dan akademisi filsafat, Rocky Gerung.
Ade meyakini ini adalah persoalan tafsir. “Jadi, yang berlangsung adalah perbedaan tafsir, dan perbedaan ini yang menyebabkan perbedaan keyakinan memahami aturan mengenai perkawinan beda agama,” kata dia.
Editor: Erma Sari, S. Pd
Ket foto:
Mahkamah Konstitusi menguatkan putusan pelarangan pernikahan beda agama. Namun, pada praktiknya cinta selalu menggiring dua insan yang berbeda agama ke pelaminan melalui beragam jalan. (Foto: Ilustrasi/VOA