JAKARTA, shalokalindonesia.com- Ketahanan dan kemandirian pangan menjadi persoalan primer yang secara langsung berada pada wilayah lokal dan nasional. Di Indonesia, wacana terkait hal tersebut semakin menguat selama pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan karena adanya kerentanan pangan di tengah keterbatasan lahan, pembatasan mobilitas serta meningkatnya kebutuhan yang tidak sebanding dengan ketersediaan yang ada.

Beberapa inisiatif telah dilakukan untuk mencapai ketahanan dan kemandirian pangan. Pada wilayah makro, negara menyusun regulasi misalnya melalui proyek strategis nasional yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan publik. Pemerintah memiliki otoritas yang bersifat legal-formal dan secara praktis seharusnya mampu menjangkau seluruh wilayah serta kelompok sosial masyarakat. Akan tetapi, persoalan yang biasanya muncul adalah ketika saluran distribusi suatu kebijakan tidak berlangsung dengan baik dan tepat. Dalam konteks ini, kelompok masyarakat sipil secara tidak langsung berinisiatif untuk menghimpun solidaritas sekaligus membangun kesadaran kolektifnya. Beberapa diantaranya yang aktif melakukan pendampingan serta distribusi pangan selama era pandemi Covid-19 adalah gerakan Solidaritas Pangan Jogja, Jaringan Lintas Iman (Haryadi & Malitasari, 2020), Solidaritas Sosial Bandung, dan Paguyuban Kelompok Petani Lahan Pantai Kulonprogo. Kelompok masyarakat sipil tersebut dibentuk berbasis kesadaran bersama dan kemandirian melalui jaringan sosial dan sumber daya yang dimiliki.
Kelompok masyarakat sipil lainnya yang memiliki semangat distribusi nilai ketahanan dan kemandirian pangan adalah Pesantren Ath-Thaariq di Garut, Jawa Barat. Pesantren ini menerapkan pendidikan ekoteologi sebagai referensi utama bagi para santrinya. Salah satu tujuan utama pemilihan dan penerapan ekoteologi adalah untuk membangun kesadaran lingkungan yang berorientasi ketahanan dan kemandirian pangan. Hal tersebut dibuktikan melalui sistem pertanian polikultur yang diterapkan di lahan pesantren. Hasilnya, kebutuhan pangan para santri tidak hanya bergantung pada hanya satu sumber karbohidrat saja melainkan lebih variatif. Situasi ini memang sengaja dikonstruksikan agar perspektif santri lebih terbuka terhadap lingkungan, adaptif dan menghindari pola pikir pragmatis. Selain itu, pendidikan yang diterapkan oleh pesantren Ath-Thaariq menjadi otokritik terhadap pendidikan formal. Bahwa, pesantren ini memosisikan diri sebagai benteng pertahanan generasi muda desa agar tetap bertahan dan membangun desa.
Hasil pertanian mandiri yang dilakukan oleh pesantren Ath-Thaariq mampu membentuk karakter yang independen dalam pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Dalam setiap masa panen yang hasilnya surplus, maka akan diolah menjadi cemilan, minuman seduh, hingga obat-obatan. Selanjutnya produk-produk olahan tersebut dijual. Hasil penjualan akan menjadi tabungan untuk para santri dan sebagian untuk operasional pesantren.

Riset ini berusaha menelaah rumusan masalah berikut ini:

Bagaimana model produksi pengetahuan dan skema ketahanan/kemandirian pangan di pesantren At-Thaariq?
Bagaimana proses distribusi nilai-nilai kesadaran lingkungan dalam pendidikan pesantren At-Thaariq?

Iklan

Share:

Shalokal Indonesia

Shalokal Indonesia adalah media online dibawah PT Shalokal Mediatama Indonesia dengan kantor di Kalimantan Selatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *