
JAKARTA, shalokalindonesia.com– Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima orang yang keberatan dengan sistem terbuka. Dan permohonan itu diajukan pada 14 November 2022.
Kelima orang tersebut menginginkan dengan sistem proporsional tertutup.
Artinya jika menggunakan sistem proporsional tertutup maka pemilih tidak bisa memilih calon anggota legislatif langsung dan pemilih hanya bisa memilih partai politik, sehingga partai punya kendali penuh menentukan siapa yang duduk di parlemen.
Kelima pemohon terdiri dari Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi; Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok). Mereka memilih pengacara dari kantor hukum Din Law Group sebagai kuasa.
Hakim ketua Anwar Usman menyampaikan, penolakan permohonan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang sistem pemilihan umum proporsional terbuka.
“Ini sesuai putusan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut, dan ditetapkan pemilu tetap memakai sistem proporsional terbuka,” katanya, dilansir CNN Indonesia, Kamis (15/6/2023).
Ia bilang, pihaknya menolak permohonan pemohon secara keseluruhan
MK mempertimbangkan implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilu
Sementara itu, Hakim Konstitusi, Sadli Isra menyampaikan, semua sistek pemilu terdapat kekurangan yang harus diperbaiki dan disempurnakan tanpa harus mengubah sistemnya.
Ia bilang, menurut mahkamah, perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak dan kebebasan berekspresi.
Putusan ini diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari satu hakim, yaitu hakim konstitusi Arief Hidayat.
Dari seluruh paprol di DPR, hanya PDIP yang ingin sistem proporsional tertutup diterapkan. Sementara parpol lainnya meminta agar MK tidak mengubah sistem pemilu.
Mayoritas partai politik menegaskan sistem pemungutan suara yang dipakai dalam pemilu adalah kewenangan pembuat undang-undang yakni presiden dan DPR. Karena itu, mereka merasa MK tidak berwenang untuk mengubahnya lewat putusan uji materi. (shalokalindonesia.com/cnn)
Editor: Erma Sari, S. Pd
Ker foto: Sidang. (Foto: Tribun)