JAKARTA, shalokalindonesia.com- Sejak terdengar menjadi inisiatif DPR-RI, RUU Kesehatan menuai banyak tanda tanya. Pada 14 Februari dalam Rapat Paripurna ke-16 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023, DPR-RI menetapkan RUU Kesehatan menjadi RUU inisiatif DPR-RI di tengah banyaknya penolakan dari masyarakat, organisasi profesi dan Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI).

Ketua Bidang Kesehatan dan Lingkungan PP KAMMI, Ahmad Jundi Khalifatullah menyampaikan, setelah RUU diserahkan kepada pemerintah, Presiden menunjuk kementerian kesehatan sebagai koordinator wakil pemerintah pusat bersama beberapa kementerian dan badan lainnya.

” Hal ini menunjukkan banyaknya stakeholder yang terlibat di dalam RUU Kesehatan dengan metode omnibuslaw tersebut, ” katanya.

Namun, pemerintah pusat bergeming dengan berbagai masukan dan saran positif dalam pembentukan RUU Kesehatan, hal ini tentu saja melemahkan substansi peran serta masyarakat dalam pembentukan RUU tersebut. Bahkan akan menimbulkan judicial review dari kelompok masyarakat yang merasa dirugikan oleh RUU Kesehatan ini.

“Jangan sampai RUU Omnibuslaw Kesehatan masuk jurang dengan dibatalkan oleh MK seperti UU Omnibuslaw Cipta Kerja.Oleh karena itu PP KAMMI mencatat beberapa isu penting yang harus ditolak jika RUU Kesehatan ini tidak ditinjau ulang oleh pemerintah dan DPR-RI.1, ” jelasnya.

Berkaitan dengan mandatory spending kesehatan, PP KAMMI mendukung penuh mandatory spending kesehatan 5% sesuai UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan menolak wacana penghapusan mandatory spending dalam RUU Kesehatan. Bahkan semestinya pemerintah meningkatkan anggaran mandatory spending sebesar 15% sebagaimana amanat dalam TAP MPR No 10 MPR 2001.

“Menolak rencana memposisikan BPJS bertanggungjawab ke Presiden melalui Menteri Kesehatan. Independensi BPJS harus dijaga dengan langsung bertanggung jawab pada presiden, terlebih penambahan tugas dari kementerian kesehatan kepada BPJS berpotensi menyebabkan penyalahgunaan dana BPJS untuk program kementerian kesehatan dengan dalih penugasan, ” katanya.

PP KAMMI menegaskan dana BPJS BUKAN milik kementerian kesehatan dan tidak dapat digunakan dalam program kementerian kesehatan.

“Meminta pemerintah dan DPR-RI membuat mekanisme peralihan dimana undangundang yang direvisi dalam RUU kesehatan tidak serta merta dihapuskan, ” terangnya

RUU kesehatan akan menghapuskan 9 undang-undang yang sudah ada, yaitu UndangUndang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan; Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.

“Penguatan dalam regulasi kesehatan adalah keharusan jika ingin melakukan sebuah transformasi, namun jika itu dimaknai sebagai pengarus utamaan kewenangan dan kekuasaan yang berlebihan kepada kementerian kesehatan, maka PP KAMMI menolak hal tersebut, ” jelasnya.

Apabila pembahasan terus dilanjutkan tanpa mengakomodir masukan dan pendapat dari berbagai pihak dan tetap memasukkan pasal-pasal yang bermasalah maka PP KAMMI akan melaksanakan AKSI TOLAK RUU KESEHATAN bersama dengan kelompok lainnya. (shalokalindonesia.com/rls)

Editor: Erma sari, S. Pd

Iklan
Share:

Shalokal Indonesia

Shalokal Indonesia adalah media online dibawah PT Shalokal Mediatama Indonesia dengan kantor di Kalimantan Selatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *