SHALOKAL. INDONESIA, JAKARTA- Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Pasca reformasi, perdebatan mengemuka karena negara dinilai mengecilkan peran mantan presiden Soeharto.

Setahun yang lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara untuk mengabadikan peran peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 bagi Indonesia. Namun, tidak ada nama Soeharto di dalamnya. Padahal buku-buku sejarah yang ditulis rezim Orde Baru, menempatkannya sebagai tokoh utama, bersama Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Kenyataan itu cukup mengganggu Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila, Surabaya.

“Menjadi hal yang terus mengusik hati kita, yaitu tentang Keppres 2/2022, tentang peringatan Satu Maret ini menjadi direduksi, sehingga peran Pak Harto itu dihilangkan. Ini sebetulnya harus menjadi konsen kita,” kata Prihandoyo.

Prihandoyo datang ke Yogyakarta, Selasa (28/2), untuk mengikuti diskusi memperingati Serangan Umum 1 Maret 1949. Diskusi ini menghadirkan pembicara sejarawan dan akademisi serta dihadiri sekitar seratus peserta dari guru, aktivis, dan veteran.

Tidak hanya Prihandoyo, sejumlah peserta diskusi yang digelar di area Museum Soeharto itu juga menyinggung hilangnya peran pemimpin Orde Baru itu dalam peristiwa ini. Bahkan, muncul usulan sebuah petisi untuk mengangkat kembali nama Soeharto beserta peran-peran sentralnya, khususnya dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret.

Nama Soeharto Hilang

Meski Serangan Umum 1 Maret 1949 selama puluhan tahun dikaitkan dengan Soeharto, Keppres 2/2022 justru tidak menyebut namanya. Keppres itu hanya menyebut bahwa serangan itu digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman, dan disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Soal hilangnya nama Soeharto dari Keppres 2/2002, dijelaskan sedikit oleh Prof. Dr. Susanto Zuhdi, guru besar sejarah Universitas Indonesia yang berbicara dalam diskusi

Sebetulnya ada dua naskah akademik, satu dibuat pada 2018 dan satu lagi dibuat pada 2022. Yang di naskah akademik 2018, Pak Harto masuk, disebut di situ. Di naskah akademik tahun 2022, nah itu sudah hilang,” kata dia.

Susanto mengaku sudah membandingkan halaman demi halaman naskah akademik. Ada sejumlah perbedaan signifikan yang membuat nama Soeharto hilang. Dia bahkan menilai ada tekanan politik dalam kasus ini.

“Pasti bukan sejarawan yang mengerti, yang menulis itu. Ini sudah ada intervensi politik. Surat Keputusan itu politis,” terang Susanto.

“Kita mungkin bisa menduga dari mana intervensi itu masuk. Masa mau mengangkat yang satu, kemudian yang satu ditenggelamkan dari fakta sejarah. Ada hadits atau entah apa yang mengatakan, janganlah kebencianmu membuatmu berbuat tidak adil,” tambah Susanto

.Pelajari Historiografi, Bukan Keppres

Sejarawan Universitas Gadjah Mada, yang juga menyusun naskah akademik Keppres 2/2022, Dr Sri Margana memastikan posisi Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret sangat penting dan vital.

“Karena beliaulah yang menjadi pelaksana Serangan Umum. Soal namanya tidak disebut dalam Keppres, itu sama sekali tidak mengurangi perannya, karena dalam historiografi peran Soeharto sudah jelas,” kata Sri Margana.

Namun, Sri Margana menambahkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah layaknya gerakan semesta yang sukses karena setiap peran yang dijalankan oleh banyak tokoh. Masing-masing peran itu berjalan dengan baik. Peran Soeharto, lanjutnya, sangat vital, tetapi tidak mengurangi peran pihak lain yang memiliki peran berbeda.

Di masa lalu, dalam historiografi, penonjolan peran tokoh tertentu menyebabkan peran yang lain tidak tercatat. Historiografi yang baik yang bisa menempatkan peran setiap tokoh sebagaimana adanya,” tegasnya.

Sri Margana juga menambahkan,”Biasanya, kultus individu ketika menyoroti peran yang lain dianggap tidak benar.”

Soal bahwa nama Soeharto tidak disebut dalam Keppres, tidak akan menghilangkan namanya dalam sejarah. Jika ingin mempelajari sejarah, masyarakat harus melihat historiografi, bukan sekadar sebuah Keppres yang bahkan hanya dua halaman. Keppres, kata Sri Margana, adalah produk politik yang punya bahasa sendiri dalam penulisannya

Nama-nama yang disebut dalam Keppres itu representasi dari kepemimpinan. Sukarno-Hatta sebagai pemimpin politik. Sri Sultan HB IX sebagai pencetus gagasan Serangan Umum, dan Jenderal Soedirman sebagai panglima tertinggi militer. Dalam hal ini, Seoharto adalah bawahan Pak Dirman, terepresentasikan dari kelompok militer,” terang Sri Margana.

Ia menjelaskan, karena rezim Soeharto sudah berlangsug 35 tahun, historiografi Indonesia yang berkaitan dengan Serangan Umum 1 Maret cenderung kultus individu. Jadi, tambah dia, ketika mengangkat peran tokoh yang lain, dianggap tidak benar.

Serangan Umum 1 Maret 1949

Di masa Orde Baru, Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah peristiwa penting yang selalu diperingati untuk mengukuhkan peran Soeharto dalam sejarah kemerdekaan. Setidaknya, ada dua film yang menjadi langganan untuk diputar yaitu “Enam Djam di Jogja” produksi Perfini (1951) karya sutradara legendaris Usmar Ismail dan “Janur Kuning” (1979) karya sutradra Alam Rengga Surawidjaya. Ada juga film “Serangan Fajar” (1982) karya sutradawa kawakan Arifin C Noer yang menggambarkan peran Soeharto lewat sudut pandang anak kecil bernama Temon.

Setelah Proklamasi 1945, Belanda dua kali mencoba kembali menjajah Indonesia melalui Agresi I tahun 1947 dan Agresi II pada Desember 1948. Ibu kota negara bahkan terpaksa dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta, dan karena itulah peran Soeharto yang ketika itu berpangkat Letnan Kolonel dan menjadi Komandan Wehrkreise III memperoleh tempat.

Setahun yang lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara untuk mengabadikan peran peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 bagi Indonesia. Namun, tidak ada nama Soeharto di dalamnya. Padahal buku-buku sejarah yang ditulis rezim Orde Baru, menempatkannya sebagai tokoh utama, bersama Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Kenyataan itu cukup mengganggu Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila, Surabaya.

“Menjadi hal yang terus mengusik hati kita, yaitu tentang Keppres 2/2022, tentang peringatan Satu Maret ini menjadi direduksi, sehingga peran Pak Harto itu dihilangkan. Ini sebetulnya harus menjadi konsen kita,” kata Prihandoyo.

Prihandoyo datang ke Yogyakarta, Selasa (28/2), untuk mengikuti diskusi memperingati Serangan Umum 1 Maret 1949. Diskusi ini menghadirkan pembicara sejarawan dan akademisi serta dihadiri sekitar seratus peserta dari guru, aktivis, dan veteran.

Tidak hanya Prihandoyo, sejumlah peserta diskusi yang digelar di area Museum Soeharto itu juga menyinggung hilangnya peran pemimpin Orde Baru itu dalam peristiwa ini. Bahkan, muncul usulan sebuah petisi untuk mengangkat kembali nama Soeharto beserta peran-peran sentralnya, khususnya dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret.

Nama Soeharto Hilang

Meski Serangan Umum 1 Maret 1949 selama puluhan tahun dikaitkan dengan Soeharto, Keppres 2/2022 justru tidak menyebut namanya. Keppres itu hanya menyebut bahwa serangan itu digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman, dan disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Soal hilangnya nama Soeharto dari Keppres 2/2002, dijelaskan sedikit oleh Prof. Dr. Susanto Zuhdi, guru besar sejarah Universitas Indonesia yang berbicara dalam diskusi.

Mantan Presiden Soeharto duduk di rumahnya di Jakarta, 24 Oktober 2006. (Foto: AP)
Mantan Presiden Soeharto duduk di rumahnya di Jakarta, 24 Oktober 2006. (Foto: AP)
“Sebetulnya ada dua naskah akademik, satu dibuat pada 2018 dan satu lagi dibuat pada 2022. Yang di naskah akademik 2018, Pak Harto masuk, disebut di situ. Di naskah akademik tahun 2022, nah itu sudah hilang,” kata dia.

Susanto mengaku sudah membandingkan halaman demi halaman naskah akademik. Ada sejumlah perbedaan signifikan yang membuat nama Soeharto hilang. Dia bahkan menilai ada tekanan politik dalam kasus ini.

“Pasti bukan sejarawan yang mengerti, yang menulis itu. Ini sudah ada intervensi politik. Surat Keputusan itu politis,” terang Susanto.

“Kita mungkin bisa menduga dari mana intervensi itu masuk. Masa mau mengangkat yang satu, kemudian yang satu ditenggelamkan dari fakta sejarah. Ada hadits atau entah apa yang mengatakan, janganlah kebencianmu membuatmu berbuat tidak adil,” tambah Susanto.

Seorang pengunjuk rasa menampilkan salinan berita mingguan, Tempo, saat demonstrasi menentang majalah tersebut di Jakarta pada 6 Februari 2008. (Foto: AFP)
Seorang pengunjuk rasa menampilkan salinan berita mingguan, Tempo, saat demonstrasi menentang majalah tersebut di Jakarta pada 6 Februari 2008. (Foto: AFP)
Pelajari Historiografi, Bukan Keppres

Sejarawan Universitas Gadjah Mada, yang juga menyusun naskah akademik Keppres 2/2022, Dr Sri Margana memastikan posisi Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret sangat penting dan vital.

“Karena beliaulah yang menjadi pelaksana Serangan Umum. Soal namanya tidak disebut dalam Keppres, itu sama sekali tidak mengurangi perannya, karena dalam historiografi peran Soeharto sudah jelas,” kata Sri Margana.

Namun, Sri Margana menambahkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah layaknya gerakan semesta yang sukses karena setiap peran yang dijalankan oleh banyak tokoh. Masing-masing peran itu berjalan dengan baik. Peran Soeharto, lanjutnya, sangat vital, tetapi tidak mengurangi peran pihak lain yang memiliki peran berbeda.

“Di masa lalu, dalam historiografi, penonjolan peran tokoh tertentu menyebabkan peran yang lain tidak tercatat. Historiografi yang baik yang bisa menempatkan peran setiap tokoh sebagaimana adanya,” tegasnya. (Si/voa)

Editor: Erma Sari, S. pd
Ker foto: Mantan Presiden ke 2, Suharto. (Foto: Wikipedia)

 

Iklan

Share:

Shalokal Indonesia

Shalokal Indonesia adalah media online dibawah PT Shalokal Mediatama Indonesia dengan kantor di Kalimantan Selatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *