BANGKA SELATAN, shalokalindonesia.com- Kabut senja sampai daun gugur menjadi hujan pagi hari matahari mulai tampak sinarnya menyelimuti bumi dengan hangatnya seperti pagi pagi sebelumnya .Kicauwan burung burung terdengar sangat merdu bersatu dengan indahnya bau bunga yang wangi juga indahnya pemandangan alam desa.

Sani, sahabatku adalah sosok perempuan yang anggun dengan kekurangannya yang mudah mengeluh dan sulit berterima kasih. Namun, kekurangan itu terutup di mataku dengan rasa sayang terhadapnya yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri.

Ia mudah sekali mengeluhkan dirinya pada sesuatu yang menurutku itu adalah hal yang sepele, seperti minggu lalu Kawa mencemaskan perubahan kulitnya yang menjadi hitam setelah liburan.

“Aduh gara-gara ke pantai kemarin tangan gue jadi belang nih”, keluhnya menunjukan pergelangan tangan di hadapanku saat kami berjalan depan kelas karena tiga menit lagi kelas segera dimulai.

“Minggu depan udah mulai ujian ya?”, tegur Sani menghampiri saat aku sedang duduk anteng dengan memandangi layar ponselku.

“Iya, belajar lo, jangan bikin contekan doang bisanya”, jawabku tersenyum karena melihat gambar desainer lucu.

Menurutku, Sani adalah perempuan yang cerdas tetapi, ia selalu mengabaikan kemampuannya dan memilih untuk berpenampilan cantik di mata semua orang, itu sebabnya ia tidak pernah belajar saat ujian sekalipun.

“Rah, sore ini temenin ke PKP yuk?”, ajaknya memohon padaku.

Karena sore ini aku juga tidak ada acara, aku mengiyakan ajakannya, entahlah apa yang diinginkannya sesampainya di sana nanti

Iya, gue temenin”, selaku datar saat berjalan keluar kelas.

“Ya ampun Ini cuacanya panas banget deh!”, gerutu Sani dengan menutupi tangannya menggunakan jaket, karena takut hangus terbakar.

“Lebay lo, ini baru panas di dunia, gimana di akhirat, Sani!”, sahutku.

Penglihatan Sani tertuju pada seorang anak yang duduk di penjuru kota dengan memegang dagangan Buah di sampingnya. Berbalut kaos putih dekil mengalirkan keringat dan debu diusap keningnya dengan tangan .Memakan sebungkus nasi tanpa menggunakan sendok melainkan langsung pada tangan nya.

“Penjual Buah”, ujarku seraya melambaikan tangan di hadapan wajah Sani.

Kulihat tatapanya tanpa mengubah kedipan mata yang tertuju pada anak penjual koran itu.

“Oh, eh, iya, ya, iya Rahma, kenapa?” Sani sedikit tergagap sambut ucapanku dan segera memalingkan wajah di sekitanya.

“kamu lihatin anak itu?”, ujarku menunjuk arah pojok kota tempat penjual buah tersebut sedang asyik menikmati makannya.

“Iya Rahma, kok bisa ya?”, Sani keheranan,

“Itu dia gak punya sendok, Sani”, lanjutnya seolah ini adalah kali pertama ia melihat manusia makan dengan cara hewani.

“Apapun bisa terjadi, hidup kita udah direncanakan dan gak ada yang bisa mencegahnya”, tegurku menghela nafas dengan suara pelan dan rendah.

Kurasa sahabatku ini empati terhadap penjual itu tanpa berpikir lama aku berniat mengajak Sani ke Panti Asuhan Penyandang Disabilitas sebelum kami pergi sore ini. Tempat yang aku harapkan ia dapat sadar bahwa dirinya penuh keberuntungan. Sepanjang jalan kulihat mata sahabatku ini seperti membentuk telaga yang seakan ingin menumpahkan isinya.

Sampainya di tujuan tanpa mengira-ngira siapa yang datang Ibu Manis sebagai pengurus Panti Asuhan segera menyambut kami dengan menarik senyumnya.

“Rahma”, tegurnya sambil meninggalkan pakaian yang sedang dijemurnya.

Beliau mempersilahkan kami untuk masuk dan duduk. Ya, memang aku dan Bu Manis sudah saling mengenal, karena jarak panti dari rumah baruku berseberangan. Tanpa membuang waktu lama aku meminta izin untuk memperlihatkan sahabatku isi dari Panti Asuhan Penyandang Disabilitas tersebut

“Bu apakah boleh aku mengajak sahabatku ini berkelilang panti”ucapku.

“Owh tentu saja boleh atuh silahkan”jawabnya.

Dan syukurlah beliau mengizinkan. Senyuman tipis di balik kerudung ya mengantarkan kami berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya.

Kami melihat beberapa anak dengan kekurangan fisik yang berbeda-beda setiap individunya. Dari anak yang Buta, Tuli, Bisu, Cacat Fisik, hingga Keterbelakangan Mental, sampai akhirnya sahabatku menumpahkan telaga yang sedari tadi membendungnya menghampiri anak-anak itu dengan penuh senyuman.

“Asalamualaikum adik-adik yang cantik dan ganteng”ucapnya lemah lembut.

“Waalaikumsalam wr wb kak”jawab serentak mereka semuanya.

“Adik klo boleh tau adik udah lama ya di panti ini juga kenapa adik bisa seperti ini”tanya nya sambil meneteskan air mata.

“Kami sudah baru kk di panti ini kami di buang oleh orang tua kami sempat juga sebelum di sini kami semuanya dulu di nyasar lontang lantung entah kamana berjalan tampa arah di pinggir jalan dengan kondisi fisik seprti ini yang tak sempurna dari lahir walaupun begitu kami masih bisa bersyukur kak karena kami masih selalu di berikan ke sehatan oleh allah swt juga bisa di pertemukan dengan orang ² yang baik “jelasnya sedikit kisah pilu mereka semua.

“Masyaallah kakak takjub dengan kalian semuanya dik kalian mampu berjuang sendirian bertahan hidup seperti sekarang ini walaupun dengan fisik yang serba kekurangan”ucap sahabatku bersedih mendengarkan kisah pilu anak itu.

“Jadi bersyukurlah kami Sani karena masih bisa di berikan kesempurnaan dan kelebihan”, ucapku dengan merangkul tubuhnya,

“Iya baiklah aku sangat bersyukur itu semuanya kepada allah swt dan tak mengeluh lagi maafkanlah aku ini ya allah karena selana ini aku tak mensyukuri atas nikmatmu”Jawabnya menyesal.

“Tuhan udah menganugerahkan kita kesempatan lahir di dunia ini, bagi mereka keterbatasan fisik bukan halangan untuk terus berkembang dan maju”, ajarku pada sahabatku Sani berharap ia bisa menyadari dirinya bahwa kurang tepat caranya dalam bersyukur.

Fisik bukan patokan untuk menjamin kita hidup bahagia walau terkadang tidak dapat dielakan bahwa kita sering sekali mempermasalahkan “Kesempurnaan Fisik yang kita miliki.”jelasku lagi.

“Iya baiklah”jawabnya.

Setelah melihat semuanya yang terjadi pada anak anak itu di panti asuhan sahabatku itu berjanji ia akan selalu bersukur atas segala nikmat yang telah allah karuniai untuknya dan berjanji tak akan mengulangin nya lagi mungkin selama ini Sani beranggapan bahwa jika cantik ia akan mendapat sanjungan dari banyak orang. Sebenarnya tidak ada yang salah, hanya saja cara Sani dalam mensyukuri nikmat tersebut kurang tepat, sehingga ia tidak pernah merasa puas atas kecantikannya. Pada akhirnya segala yang diciptakan tuhan akan menua dan mati. (shalokalindonesia.com/PR)

Iklan
Share:

Shalokal Indonesia

Shalokal Indonesia adalah media online dibawah PT Shalokal Mediatama Indonesia dengan kantor di Kalimantan Selatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *