SHALOKAL. INDONESIA, JAKARTA- Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai sebetulnya menjelang akhir tahun kali ini, Indonesia sedang mengalami satu gelombang COVID-19 yang sayangnya tidak terlalu kelihatan. Dia berpendapat hal itu dipicu lemahnya pemerintah dalam mendeteksi sebuah kasus COVID-19 di masyarakat, Sabtu (24/12/2022).

Ia memaparkan, tentu hal ini cukup berbahaya karena risiko COVID-19 bukan hanya berhenti di status akut, tetapi juga potensi long COVID-19 yang dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan.

Maka dari itu, menurutnya, alangkah lebih baik bila pemerintah menunggu setidaknya sampai awal tahun untuk melihat dampak liburan panjang Natal dan Tahun Baru terhadap kasus COVID-19. Hal ini diharapkan dapat memutuskan untuk menghentikan atau melanjutkan status PPKM tersebut.

“Maka bicara mitigasi, strategi, termasuk di dalamnya PPKM, saya kira kita harus tunggu sampai situasi di awal tahun. Misalnya Januari mulai bisa kita lihat terkendali tapi dalam konteks apa? Dalam konteks melihat apa yang akan direspons atau terjadi dalam situasi di Tiongkok yang perlu kita lihat dua bulan ke depan. Artinya kalaupun PPKM ini misalnya mau dicabut, saya kira tunggulah setelah Nataru,” ungkapnya kepada VOA.

Ia mengatakan pemerintah seharusnya memastikan modal imunitas, yakni vaksin primer khususnya pada anak sudah meningkat, sebelum mencabut status PPKM. Selain itu tingkat serapan vaksinasi booster untuk tenaga kesehatan serta orang yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid, kata Dicky, seharusnya sudah mencapai minimal 50 persen.

“Kalau belum disiapkan modal proteksi, modal imunitas kemudian dicabut, ini akan membuat banyak pengabaian-pengabaian. Ini yang akhirnya membuat kita menjadi kontributor dalam pemunduran lagi nanti akhir status pandemi yang sebetulnya sudah mulai terlihat,” tambahnya.

Terkait fase endemi dalam COVID-19, ia melihat fase tersebut sama sekali belum terlihat. Ia mencontohkan dalam pandemi virus H1N1 100 tahun lalu secara sains, dibutuhkan waktu setidaknya 20 tahun untuk menyebut wabah tersebut menjadi sebuah endemi.

“Selama itu dia hanya menjadi outbreak-outbreak kecil, mungkin pada beberapa wilayah dia terkendali. Tapi kalau bicara status endemi itu harus hati-hati karena dia tidak statis, dan itu cenderung nanti jangan dibawa ke ranah politis atau ekonomis karena nanti khawatir mengarah ke arah pengabaian, atau penurunan dari mitigasi karena bicara penyakit COVID-19 ini dia berkarakter,” katanya.

Namun ia sepakat bahwa COVID-19 akan menjadi endemi jelas, tetapi hal tersebut bergantung kepada kondisi negara lain.

“Seperti yang China kalau misalnya tiba-tiba muncul sub varian yang lebih bisa merusak semua modal imunitas yang sudah ada, kan endeminya nggak ada lagi,” katanya. (SI/VOA)

Editor: Erma Sari, S.Pd
Ket foto: Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)

Iklan
Share:

Shalokal Indonesia

Shalokal Indonesia adalah media online dibawah PT Shalokal Mediatama Indonesia dengan kantor di Kalimantan Selatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *